Bicara Tentang Sehidup Semati – Janji Cinta Thebaldus & Anjany di Ruteng

Bab 9: 

Bicara Tentang Sehidup Semati



Malam itu, Ruteng dingin sekali. Kabut turun lebih tebal dari biasanya, menyelimuti jalanan, menelan suara-suara kota kecil itu. Dari pondok bambu sederhana, lampu minyak kecil menyala temaram, memantulkan cahaya lembut ke wajah dua insan yang tengah duduk berdampingan: Thebaldus dan Anjany.


Mereka tidak sedang bercanda seperti biasanya. Malam itu, obrolan mereka lebih serius, lebih dalam, seakan keduanya tahu bahwa waktu semakin mendekatkan mereka pada sesuatu yang disebut masa depan.


“Jan, aku pernah mikir… apa kita bakal beneran bareng sampai tua?” tanya Thebaldus tiba-tiba, menatap dinding bambu dengan tatapan kosong.


Anjany menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Kenapa nanyanya gitu?”


“Entah. Kadang aku takut, kita cuma numpang lewat di hidup masing-masing.”


Anjany terdiam. Ia menggenggam tangan Thebaldus, mengeratkannya. “Kalau aku, Baldus… aku nggak pernah anggap kamu cuma numpang lewat. Kamu itu tujuan.”


Thebaldus menatapnya, matanya bergetar. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa lebih kuat daripada janji apapun.



Malam berjalan perlahan. Hujan rintik mengetuk atap seng pondok bambu, seakan menjadi musik latar. Anjany bersandar di bahu Thebaldus, sementara pria itu menatap kosong ke arah langit-langit.


“Aku ingin kita sehidup semati, Jan,” ucap Thebaldus lirih.


Anjany tersenyum tipis. “Sehidup semati? Itu terdengar kayak film.”


“Biar terdengar kayak film, aku serius. Aku nggak bisa bayangin hidup tanpa kamu.”


Anjany menutup matanya sebentar, lalu berkata pelan, “Kalau gitu, kita janji. Apa pun yang terjadi, kita tetap bareng. Entah senang, entah susah, kita hadapi sama-sama.”



Hari-hari berikutnya, mereka sering membicarakan masa depan. Tentang rumah yang akan mereka bangun di kaki Ranaka, tentang anak-anak yang akan mereka besarkan bersama, tentang kehidupan sederhana yang penuh kebahagiaan.


Di alun-alun Ruteng, sambil duduk di bangku kayu, Thebaldus pernah berkata:


 “Jan, aku nggak janji bisa kasih kamu emas atau rumah besar. Tapi aku janji, aku bakal ada buat kamu. Dari pagi sampai malam. Dari muda sampai tua. Dari hidup sampai mati.”


Anjany tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Itu lebih dari cukup, Baldus. Karena aku nggak pernah minta kaya. Aku cuma minta setia.”



Mereka mulai terbiasa mengucapkan kata-kata besar yang lahir dari hati. Kata-kata yang bagi sebagian orang terdengar berlebihan, tapi bagi mereka adalah doa.


“Kalau aku mati duluan, kamu jangan nikah lagi, ya?” kata Thebaldus sambil bercanda setengah serius.


Anjany mencubit lengannya. “Jangan ngomong aneh-aneh.”


“Aku serius.”


“Kalau gitu, kita janji. Nggak ada yang ninggalin duluan. Kita harus bareng-bareng.”


Dan mereka pun tertawa, menertawakan sesuatu yang sebenarnya menakutkan. Tapi di balik tawa itu, ada keyakinan yang tumbuh: bahwa cinta mereka memang ditakdirkan untuk sehidup semati.



Ruteng, dengan segala kabut dan dinginnya, menjadi saksi. Di kota kecil itu, dua hati muda berani mengucapkan janji besar. Janji yang kelak akan diuji oleh jarak, waktu, dan keadaan.


Tapi malam itu, janji mereka berdiri tegak.


Dan di pondok bambu sederhana, di bawah cahaya lampu minyak yang redup, Thebaldus dan Anjany berikrar: “Sehidup semati.”


NEXT PART


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Inosentius Samsul: 35 Tahun di DPR Hingga Jadi Hakim Mahkamah Konstitusi

PPPK Paruh Waktu Diangkat Menjadi Penuh Waktu: Desakan DPR dan DPD RI ke Pemerintah untuk Segera Bertindak

Permata Tersembunyi di Manggarai Barat: Menjelajahi Air Terjun Cunca Polo

Cara Cek PKH dan PIP 2025 Lewat HP: Panduan Lengkap, Mudah, dan Resmi

Tenaga Kerja Asal Bajawa Diduga Disiksa di Sebuah Yayasan di Bogor, Dibebaskan NTT Bogor Raya