Ruteng Menjadi Saksi – Kota Kecil yang Mengabadikan Cinta Thebaldus & Anjany
Bab 7:
Ruteng Menjadi Saksi
Ruteng bukan kota besar. Jalanannya sempit, udaranya dingin, dan kabutnya hampir selalu turun setiap sore. Tapi di balik kesederhanaannya, kota ini menyimpan begitu banyak cerita. Bagi Thebaldus dan Anjany, Ruteng adalah panggung cinta, tempat segala rasa tumbuh, bertahan, lalu diabadikan oleh waktu.
Setiap sudut kota ini seperti merekam langkah mereka. Dari pasar kecil tempat Anjany suka membeli buah, jalanan berbatu yang dilalui Thebaldus sepulang kerja, sampai lampu-lampu jalan yang redup di malam hari. Semuanya seakan ikut menyaksikan bagaimana cinta mereka tumbuh hari demi hari.
Malam itu, mereka berjalan di jalan utama Ruteng. Lampu jalan berkelip samar, kabut turun makin tebal. Udara dingin menusuk, tapi tangan mereka saling menggenggam erat.
“Baldus, kamu sadar nggak? Kota ini kayak ikut lihat kita tiap hari,” kata Anjany sambil tersenyum.
Thebaldus menoleh. “Sadar. Makanya aku nggak bisa nakal. Takut ketahuan Ruteng.”
Anjany tertawa kecil. “Dasar kamu.”
“Tapi serius, Jan. Kalau suatu saat kita udah tua, aku pengen kota ini tetap ada. Jadi saksi bahwa kita pernah jatuh cinta di sini.”
Hari-hari mereka di Ruteng diisi dengan hal-hal kecil, tapi justru itulah yang membuatnya berkesan. Kadang mereka hanya duduk di kios kopi pinggir jalan, berbagi segelas kopi panas sambil bercanda. Kadang mereka berjalan ke pasar, pura-pura menawar harga sayur hanya untuk membuat pedagang tertawa.
“Kalau kita nanti nikah, kita tetap harus ke pasar bareng, Jan,” kata Thebaldus saat mereka berjalan melewati deretan pedagang.
“Buat apa?”
“Biar kamu tetap inget rasanya hidup sederhana.”
Anjany menoleh, wajahnya lembut. “Aku nggak butuh kaya buat bahagia, Baldus. Aku cuma butuh kamu tetap di sampingku.”
Suatu sore, mereka duduk di alun-alun kota. Anak-anak kecil berlarian, penjual jagung rebus sibuk melayani pembeli. Ruteng sore itu terasa hangat meski udara dingin menusuk.
Anjany menatap langit yang perlahan berubah jingga. “Baldus, aku suka kota ini. Tapi lebih dari itu, aku suka karena kamu ada di sini.”
Thebaldus menunduk, menatap wajahnya. “Kalau gitu, janji ya. Kalau suatu hari aku harus pergi, kamu jangan benci kota ini. Karena kota ini bakal selalu jadi saksi kita.”
Anjany mengangguk pelan. Dalam hati ia tahu, janji itu terdengar seperti doa.
Setiap langkah mereka di Ruteng adalah kisah. Setiap bangku taman, setiap warung kopi, setiap jalan berkabut—semuanya merekam cinta yang tumbuh perlahan. Ruteng bukan hanya latar, tapi juga karakter ketiga dalam cerita mereka. Ia diam, tapi mencatat. Ia tak berbicara, tapi mengingat.
Dan di tengah kabut yang turun malam itu, Thebaldus menggenggam tangan Anjany lebih erat, seolah ia tahu: suatu hari nanti, hanya kota ini yang akan menjadi saksi bisu ketika janji mulai diuji oleh waktu.
-

Komentar
Posting Komentar