Janji yang Diteguhkan oleh Senja – Cinta Thebaldus & Anjany di Ruteng
Bab 10:
Janji yang Diteguhkan oleh Senja
Senja di Ruteng selalu berbeda. Langitnya jingga, tapi lebih pucat karena kabut tipis ikut turun. Matahari yang perlahan tenggelam di balik perbukitan membuat suasana terasa sendu sekaligus hangat. Dan sore itu, Thebaldus dan Anjany memilih duduk di alun-alun kota, menatap langit yang berubah warna.
Mereka sudah sering melihat senja bersama, tapi kali ini terasa lain. Ada beban yang samar-samar menggantung, ada sesuatu yang ingin mereka teguhkan—janji yang lebih dalam dari sekadar “aku cinta kamu.”
Thebaldus memegang tangan Anjany erat-erat. Tangannya hangat meski udara dingin menyelimuti Ruteng.
“Jan,” katanya pelan.
“Ya?”
“Aku kadang takut. Takut nggak bisa jagain kamu.”
Anjany menoleh, matanya lembut. “Kenapa ngomong gitu?”
“Karena aku sadar, dunia kita beda. Kamu kuliah, aku kerja. Kadang aku takut kamu malu punya aku.”
Anjany langsung menggeleng. “Baldus, aku nggak pernah malu. Justru aku bangga. Kamu orang paling tulus yang pernah aku kenal.”
Thebaldus terdiam. Hatinya bergetar. Kata-kata itu bagai doa yang menenangkan.
Senja makin memerah. Burung-burung melintas, suara mereka berpadu dengan deru motor yang sesekali melewati jalanan kota kecil itu.
“Kalau gitu,” Thebaldus melanjutkan, “aku mau janji. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Aku bakal ada, meski nanti jarak coba pisahin kita.”
Anjany menatapnya lama, lalu tersenyum. “Aku juga janji. Aku nggak akan nyerah, seberapa pun beratnya nanti.”
Mereka terdiam sejenak. Diam yang penuh makna, diam yang seakan mengikat lebih kuat daripada seribu kata.
Di pojok alun-alun, seorang penjual jagung rebus menyalakan lampunya. Aroma jagung hangus terbawa angin. Thebaldus berdiri, lalu mengajak Anjany membeli dua batang jagung. Mereka duduk lagi, mengunyah perlahan sambil tertawa kecil.
“Kamu tahu nggak, Jan? Jagung ini kayak cinta kita.”
Anjany tertawa. “Jagung kok cinta?”
“Iya. Dari biji kecil, harus direbus, kadang gosong, tapi tetap manis kalau dimakan bareng-bareng.”
“Dasar gombal.”
Namun dalam hati, Anjany merasa kalimat itu benar. Cinta mereka mungkin akan diuji, kadang panas, kadang sakit, tapi kalau mereka tetap bersama, semua akan terasa manis.
Saat matahari benar-benar tenggelam, Thebaldus menggenggam kedua tangan Anjany. Matanya serius.
“Aku janji, Jan. Senja ini jadi saksinya. Aku nggak akan pernah berhenti cinta kamu. Sampai kapanpun.”
Air mata Anjany menetes. “Aku juga janji, Baldus. Kalau nanti dunia coba jatuhin kita, aku akan tetap berdiri di samping kamu.”
Mereka berpelukan. Senja di Ruteng menjadi saksi. Langit jingga perlahan memudar, berganti malam, tapi janji itu tetap tinggal—tertulis, bukan di kertas, tapi di hati mereka.
Malam datang. Jalanan mulai sepi. Mereka pulang dengan hati yang lebih kuat. Karena cinta mereka kini bukan sekadar rasa, tapi sudah menjadi janji yang diteguhkan oleh senja.

Komentar
Posting Komentar