Kisah Pilu Randika Alzatria Syaputra, Anak Rantau Asal Lubuklinggau yang Diduga Tewas Kelaparan di Cilacap


Kisah Tragis yang Menggemparkan Publik


Berita tentang Randika Alzatria Syaputra, pemuda berusia 28 tahun asal Lubuklinggau, Sumatera Selatan, mendadak viral di berbagai media sosial. Ia ditemukan meninggal dunia dalam kondisi mengenaskan di sebuah lokasi di Cilacap, Jawa Tengah, diduga akibat kelaparan dan kehabisan tenaga setelah lama hidup sebatang kara.


Menurut laporan tvOnenews.com (31 Oktober 2025), Randika sempat menuliskan surat terakhir yang berisi identitas pribadinya, alamat asal, dan permintaan agar jenazahnya dikirimkan ke kampung halaman. Surat sederhana itu menjadi bukti terakhir betapa ia merindukan tanah kelahiran dan keluarganya yang jauh di Lubuklinggau.


Temuan jasad Randika sontak membuat publik terenyuh. Banyak warganet menuliskan doa dan rasa iba, menyoroti kerasnya hidup di tanah rantau bagi mereka yang tidak memiliki tempat bernaung dan penghasilan tetap.

Perantau yang Hilang Arah


Randika dikenal sebagai sosok sederhana yang pernah merantau ke Pulau Jawa dengan harapan bisa memperbaiki nasib. Namun, perjalanan hidupnya ternyata jauh dari mudah.

Menurut pemberitaan tvOnenews.com, dua tahun lalu Randika pernah datang ke Polres Lubuklinggau dan mengaku telah mencuri, dengan alasan agar bisa dipenjara. Ia berharap, di balik jeruji besi, ia masih bisa makan dan berteduh. Namun setelah polisi melakukan pengecekan, tidak ditemukan laporan pencurian di tempat yang dimaksud. Akhirnya, Randika dianggap sebagai warga terlantar dan dirujuk ke Dinas Sosial Kota Lubuklinggau.


Dinas Sosial sempat memberikan bantuan dan mendata identitasnya. Namun, Randika kembali menghilang dan tidak diketahui keberadaannya hingga ditemukan tak bernyawa di Cilacap dua tahun kemudian. Jejaknya yang sempat lenyap menandai awal dari kisah getir seorang anak rantau yang mencari arti hidup di negeri orang.

Surat Terakhir yang Menggetarkan Hati


Ketika aparat kepolisian Cilacap menemukan jasad Randika, mereka juga menemukan selembar kertas lusuh di samping tubuhnya. Di surat itu tertulis identitasnya: nama lengkap, tempat asal, dan pesan terakhir agar jenazahnya dikirimkan kepada keluarga di Lubuklinggau.


Surat tersebut bukan hanya catatan identitas, tetapi juga pesan kemanusiaan yang menggugah nurani. Ia menulis dengan bahasa sederhana, menunjukkan keputusasaan sekaligus harapan agar dunia tahu siapa dirinya.

Isi surat itu menyiratkan betapa Randika tidak ingin mati tanpa nama, tidak ingin jasadnya hilang tanpa diketahui keluarga. Dalam situasi lapar dan kesepian, ia masih berusaha menjaga martabat dan meninggalkan pesan terakhir — sebuah tindakan kecil yang menggetarkan banyak hati di seluruh Indonesia.

Tanda-Tanda Kesepian dan Putus Asa


Kisah Randika mencerminkan betapa kesepian dan tekanan hidup bisa menghancurkan seseorang secara perlahan. Sebagai perantau, ia hidup tanpa pekerjaan tetap, tanpa keluarga, dan tanpa dukungan sosial yang memadai.

Media tvOnenews menulis bahwa sejak lama Randika mengalami kesulitan ekonomi. Ia tidak memiliki biaya untuk pulang ke kampung halaman, bahkan untuk makan pun sering kali tidak cukup. Dalam beberapa unggahan warganet, disebutkan bahwa ia sempat terlihat di beberapa tempat umum dengan kondisi lemah, namun tak banyak yang benar-benar memperhatikannya.


Fenomena ini menyoroti sisi gelap kehidupan para perantau di Indonesia di mana banyak dari mereka datang dengan mimpi besar, namun tenggelam dalam realitas keras kota tanpa perlindungan sosial.

Potret Anak Rantau dan Keterasingan Sosial


Di balik kisah tragis Randika, ada cerita yang lebih besar: tentang ribuan anak muda Indonesia yang merantau demi mengubah nasib. Mereka datang ke kota dengan tekad kuat, namun seringkali tanpa bekal yang cukup, baik secara ekonomi maupun mental.


Menurut catatan sosial Dinas Sosial beberapa daerah, fenomena “anak rantau terlantar” bukan hal baru. Banyak di antara mereka yang akhirnya hidup di jalanan, bekerja serabutan, bahkan kehilangan kontak dengan keluarga.

Dalam konteks ini, kisah Randika bukan sekadar tragedi pribadi, melainkan refleksi atas lemahnya sistem perlindungan sosial bagi warga rentan.


Sosiolog dari Universitas Indonesia, dalam wawancara dengan media lokal, menyebutkan bahwa “anak rantau yang tidak punya jaringan sosial di kota berisiko tinggi mengalami keterasingan, depresi, dan kemiskinan ekstrem.” Randika, sayangnya, menjadi salah satu korban nyata dari kondisi itu.

Kematian yang Mengundang Empati Nasional


Setelah kabar kematiannya viral, berbagai pihak mulai memberikan perhatian. Akun-akun media sosial besar membagikan kisahnya, disertai foto dan surat terakhir yang ditulis dengan tangan gemetar. Banyak yang mengaku menangis membaca pesan itu.


Pemerintah daerah pun ikut bergerak. Beberapa relawan membantu mengurus pemulangan jenazahnya ke Lubuklinggau agar bisa dimakamkan oleh keluarganya. “Kami ikut berduka. Semoga arwahnya tenang, dan kisah ini menjadi pelajaran bagi kita semua,” ujar seorang petugas Dinsos Cilacap seperti dikutip dari tvOnenews.com.


Warganet menilai, kisah Randika adalah cermin tentang betapa kerasnya hidup bagi mereka yang tidak memiliki daya dan akses. Ia bukan kriminal, bukan pemberontak hanya seorang pemuda yang kehilangan harapan di tengah hiruk pikuk dunia modern.

Pelajaran untuk Kita Semua


Kematian Randika Alzatria Syaputra menyadarkan kita bahwa di balik kemajuan ekonomi dan teknologi, masih banyak orang yang berjuang untuk sekadar bertahan hidup.

Sebagai masyarakat, mungkin kita perlu lebih peka terhadap lingkungan sekitar  terhadap mereka yang tampak kehilangan arah, tanpa tempat tinggal, tanpa keluarga. Terkadang, sekadar menyapa atau memberi bantuan kecil bisa menjadi penyelamat bagi seseorang yang sedang di ambang keputusasaan.


Kita juga bisa menekan pemerintah daerah agar memperkuat sistem pendataan dan bantuan sosial bagi warga rentan, terutama para perantau yang kehilangan pekerjaan. Dunia kerja dan sosial yang lebih manusiawi bisa mencegah tragedi seperti yang menimpa Randika.

Refleksi Akhir


Kisah Randika Alzatria Syaputra bukan sekadar berita viral. Ia adalah potret kemanusiaan yang menampar nurani bangsa.

Seorang pemuda yang dulu datang dengan mimpi besar, namun pulang dalam sunyi tanpa sempat menyapa ibunya, tanpa sempat berkata bahwa ia lelah.

Surat terakhirnya menjadi simbol keinginan terakhir manusia: untuk dikenal, diingat, dan dipulangkan dengan layak.


Semoga kisah Randika menjadi pengingat bahwa setiap nyawa berharga, dan setiap perantau berhak mendapatkan tempat di hati kita semua.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Inosentius Samsul: 35 Tahun di DPR Hingga Jadi Hakim Mahkamah Konstitusi

PPPK Paruh Waktu Diangkat Menjadi Penuh Waktu: Desakan DPR dan DPD RI ke Pemerintah untuk Segera Bertindak

Cara Cek PKH dan PIP 2025 Lewat HP: Panduan Lengkap, Mudah, dan Resmi

Permata Tersembunyi di Manggarai Barat: Menjelajahi Air Terjun Cunca Polo

Bangga! Uskup Paskalis Bruno Syukur OFM Terpilih Jadi Anggota Penting Dikasteri Hidup Bakti Hingga 2029