Perpol 10 Tahun 2025 Tuai Polemik, Putusan MK dan Netralitas Polri Disorot Publik
Terbitnya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 kembali memunculkan perdebatan publik dan sorotan kalangan pakar hukum. Regulasi ini, yang ditandatangani Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, memungkinkan anggota Polri aktif untuk menempati jabatan di 17 kementerian dan lembaga sipil. Kebijakan ini muncul hanya berselang satu bulan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menegaskan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian apabila telah mengundurkan diri atau memasuki masa pensiun.
Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta bertujuan menjaga netralitas, profesionalitas, dan independensi Polri sebagai aparat penegak hukum. Regulasi internal Polri yang membuka kembali ruang penugasan bagi anggota aktif ini dinilai menimbulkan kontroversi karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan persepsi publik yang meragukan netralitas institusi kepolisian.
Latar Belakang Hukum dan Tujuan Putusan MK
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa anggota Polri aktif yang menduduki jabatan sipil berisiko mengaburkan batas antara ranah sipil dan aparat keamanan. Hal ini dapat memengaruhi objektivitas aparat dalam menegakkan hukum, terutama dalam perkara yang melibatkan kepentingan pemerintah atau pejabat sipil. Putusan MK bertujuan memastikan bahwa aparat kepolisian tetap netral secara politik dan profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum.
Seorang pakar hukum tata negara menyatakan bahwa ketentuan ini juga menegaskan pentingnya prinsip checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kepatuhan seluruh lembaga negara terhadap putusan MK merupakan indikator konsistensi negara dalam menegakkan supremasi hukum dan menjamin kepastian hukum bagi publik.
Sorotan Pakar Hukum
Sejumlah pakar menilai Perpol 10 Tahun 2025 berpotensi bertentangan dengan putusan MK. Seorang guru besar hukum tata negara menyatakan bahwa regulasi internal seharusnya tidak menafsirkan ulang atau mengurangi substansi putusan MK. Menurut pakar lain, jika putusan MK dapat dilewati melalui peraturan internal, maka kewibawaan konstitusi dan prinsip supremasi hukum dapat tergerus.
Pakar hukum lainnya menekankan pentingnya netralitas Polri sebagai lembaga penegak hukum yang dipercaya publik. Mereka menyoroti bahwa penugasan anggota Polri aktif di jabatan sipil tanpa kewajiban pensiun atau mengundurkan diri dapat menimbulkan persepsi bahwa Polri tidak bebas dari pengaruh politik. Dalam konteks demokrasi, persepsi semacam ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dan kualitas penegakan hukum.
Perbedaan Tafsir dan Pandangan Lain
Tidak semua pihak sepakat bahwa Perpol 10 Tahun 2025 melanggar Putusan MK. Beberapa praktisi hukum berpendapat bahwa putusan MK tidak melarang seluruh bentuk penugasan anggota Polri di luar institusi kepolisian, selama penugasan tersebut masih terkait dengan tugas dan fungsi kepolisian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Perbedaan tafsir ini menunjukkan adanya ruang hukum yang membutuhkan kejelasan lebih lanjut. Regulasi yang ambigu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi aparat, pejabat sipil, dan masyarakat. Oleh karena itu, beberapa pakar menekankan perlunya dialog antara pemerintah, kepolisian, dan pakar hukum untuk memastikan interpretasi yang konsisten dan sesuai konstitusi.
Dampak Terhadap Netralitas dan Profesionalitas Polri
Kontroversi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana netralitas Polri dapat dijaga jika anggota aktif dapat menempati jabatan sipil? Seorang pakar hukum tata negara menekankan bahwa netralitas bukan sekadar prinsip administratif, tetapi fondasi legitimasi Polri di mata publik. Netralitas yang terganggu berpotensi memengaruhi penegakan hukum, independensi aparat, dan persepsi masyarakat terhadap sistem peradilan.
Selain itu, penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan, terutama jika tugas mereka berkaitan dengan pengawasan, keamanan, atau penegakan hukum yang bersinggungan dengan instansi tempat mereka ditugaskan. Hal ini menimbulkan risiko politisasi aparat, yang bertentangan dengan semangat reformasi Polri dan prinsip negara hukum.
Kekhawatiran Publik dan Respons Masyarakat Sipil
Kontroversi Perpol 10 Tahun 2025 juga mendapat perhatian luas dari masyarakat sipil. Sejumlah organisasi masyarakat menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap regulasi ini agar tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum. Publik menuntut transparansi dan kepastian hukum terkait mekanisme penugasan anggota Polri aktif di luar kepolisian.
Desakan agar pemerintah dan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi mengambil langkah evaluatif pun menguat. Evaluasi tersebut dianggap penting untuk memastikan bahwa kebijakan penugasan aparat kepolisian tetap sejalan dengan konstitusi, putusan MK, serta prinsip netralitas dan profesionalitas aparat negara.
Implikasi Hukum dan Tata Negara
Polemik Perpol 10 Tahun 2025 menjadi ujian penting bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Kepatuhan terhadap putusan MK merupakan bagian dari checks and balances yang menjamin supremasi hukum dan menegakkan kepastian hukum.
Seorang pakar hukum menyatakan bahwa jika putusan MK dapat diabaikan melalui regulasi internal, maka prinsip konstitusi dan kewibawaan lembaga peradilan berpotensi melemah. Kondisi ini berimplikasi pada persepsi publik terhadap efektivitas hukum dan kredibilitas institusi negara.
Pentingnya Supremasi Hukum
Kepercayaan publik terhadap Polri dan institusi negara lainnya dibangun melalui kepatuhan hukum, profesionalitas, dan netralitas. Supremasi hukum menjadi landasan utama legitimasi negara dan kualitas demokrasi. Dalam konteks ini, perdebatan tentang Perpol 10 Tahun 2025 bukan semata persoalan administratif, tetapi menyangkut arah reformasi institusi, kualitas demokrasi, dan kepercayaan publik terhadap negara.
Kesimpulan
Perpol 10 Tahun 2025 tetap menjadi topik hangat yang menuntut perhatian serius dari pemerintah, pakar hukum, dan masyarakat. Regulasi ini menyoroti pentingnya kepastian hukum, netralitas aparat, dan konsistensi penegakan putusan MK. Evaluasi dan klarifikasi regulasi diperlukan agar kebijakan penugasan anggota Polri aktif di luar institusi kepolisian tetap selaras dengan prinsip konstitusi dan negara hukum.
Artikel ini dilansir dari:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (mkri.id),ANTARA News,Liputan6.com,RM.id,Pernyataan dan analisis pakar hukum tata negara Prof. Mahfud MD

Komentar
Posting Komentar