Malu Jadi Dosen Hukum: Refleksi Nurani dari Seorang Akademisi Hukum
![]() |
Sebuah unggahan Instagram dari akun @juniuszico, milik Zico Junius Fernando — Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu — tengah menjadi perbincangan publik. Di tengah arus informasi dan derasnya isu ketidakadilan hukum di Indonesia, refleksi Zico menjadi cermin yang jujur sekaligus getir tentang profesi pengajar hukum di tengah realitas hukum yang kerap melukai nurani.
Unggahan itu disertai foto mantan Menteri Perdagangan RI, Thomas Lembong, dengan caption yang mencolok bertajuk: “Malu Jadi Dosen Hukum.” Berikut isi lengkap refleksi tersebut yang disampaikan tanpa diedit ataupun disempurnakan, sebagaimana yang ia tulis di media sosialnya:
Malu Jadi Dosen Hukum
Zico Junius Fernando – Dosen FH Universitas Bengkulu
Kadang, saya malu mengaku sebagai dosen hukum. Bukan karena saya tidak mencintai ilmu ini. Justru karena saya tahu betul, betapa jauhnya teori yang saya ajarkan dengan realitas hukum yang dijalankan. Setiap kali saya berdiri di depan kelas, bicara tentang keadilan, tentang supremasi hukum, tentang equality before the law di luar sana, fakta-fakta menampar akal sehat. Hukum seperti alat tukang dipakai sesuai pesanan. Tajam ke lawan, tumpul ke kawan. Cepat bila menyasar yang miskin dan kritis, tapi pura-pura lumpuh saat berhadapan dengan kekuasaan.
Saya ajarkan teori Montesquieu, tentang pemisahan kekuasaan. Tapi mahasiswa saya melihat sendiri bagaimana hukum bisa dibeli, dibelokkan, bahkan dipesan seperti menu restoran. Saya ajarkan konstitusi, tapi mereka saksikan sendiri bagaimana konstitusi dilanggar oleh mereka yang seharusnya menjaganya. Saya bahas tentang putusan yang adil, tapi lalu berita menunjukkan bagaimana kekuasaan bisa menyetir putusan demi kepentingan politik. Malu rasanya. Karena apa yang saya sampaikan di ruang kelas, seringkali tak lebih dari dongeng pengantar tidur demokrasi. Saya khawatir, setiap kalimat saya justru menipu nalar mahasiswa membuat mereka percaya bahwa keadilan itu hidup, padahal kadang hanya tinggal di buku.
Bukan berarti saya menyerah. Tapi ada saat-saat di mana idealisme dihantam kenyataan, dan rasa malu itu tak bisa ditutup-tutupi lagi. Bukan malu karena gelar, bukan malu karena profesi, tapi malu karena apa yang saya ajarkan tak lagi sejalan dengan apa yang ditegakkan. Jika hukum hanya jadi topeng legitimasi kekuasaan, dan fakultas hukum hanya jadi pabrik gelar tanpa daya kritis maka lebih baik saya diam. Atau setidaknya, saya ajarkan keberanian untuk marah, dan akal sehat untuk menolak tunduk pada ketidakadilan. Karena menjadi dosen hukum tak seharusnya hanya menghafal pasal. Tapi juga menghidupkan nurani. Dan hari ini, nurani itu sedang gelisah.
Dukungan dan Respons Publik
Refleksi ini sontak menuai respon positif dari banyak pihak, terutama dari kalangan pendidik dan pegiat hukum. Mereka menyuarakan keprihatinan serupa, bahkan mengungkapkan pengalaman dan beban moral yang senada.
Akun Instagram @kurnia_mahardika berkomentar:
“Saya sebagai guru PKn pun rasanya juga amat malu. Seperti mengajarkan hal-hal yang jelas di depan mata tidak ada value-nya. Saya ajarkan kepada anak tentang norma, peraturan perundangan, nasionalisme, patriotisme tapi negara sendiri yang mengingkari.”
Akun @trinurfaizi menuliskan refleksi pahitnya sendiri:
“Dia seorang profesional. Menjadi lulusan universitas terbaik di dunia, bisa bekerja di perusahaan besar manapun di belahan dunia ini. Namanya harum di dunia internasional.
KESALAHANNYA CUMAN SATU, yaitu dia tergoda untuk mengabdi kepada bangsa dan negara yang sedang mengalami kehancuran ini dengan tulus dan ikhlas
#RIPKEADILAN”
Sementara itu, akun @m.haidar.hamid menyampaikan harapan yang menyentuh:
“Semoga ilmu yang bapak sampaikan ke murid-murid bapak kelak menjadi pemantik bagi mereka untuk berupaya memperbaiki tatanan hukum di negara ini. Kelak jiwa-jiwa penerus bangsa yang tangguh pasti akan muncul, dan semoga di antara mereka merupakan salah satu dari murid bapak 🤲🏻❤️”
Lebih dari Sekadar Refleksi
Unggahan ini bukan sekadar unek-unek pribadi, melainkan refleksi sosial yang menggambarkan perasaan gamang dan frustrasi dari para pengajar yang masih menyimpan idealisme. Ketika realitas hukum semakin jauh dari nilai keadilan, suara-suara seperti yang disuarakan Zico Junius Fernando menjadi penting — bukan hanya untuk didengar, tetapi untuk digerakkan menjadi kesadaran kolektif.
Karena pada akhirnya, tugas seorang pendidik — terutama di bidang hukum — bukan hanya mentransfer pasal demi pasal, tetapi menyalakan nurani dalam setiap kepala muda agar kelak tak menyerah pada ketidakadilan, meskipun hidup dalam sistem yang membungkamnya.
Komentar
Posting Komentar