Roko Molas Poco: Menggali Kearifan Ekologis dan Spiritualitas Leluhur Manggarai

Roko Molas Poco: Tradisi Adat Manggarai yang Mengajarkan Harmoni Alam dan Penghormatan Perempuan
Tradisi Roko Molas Poco Manggarai

Upacara Roko Molas Poco: Prosesi pengusungan kayu siri bongkok di Manggarai, NTT (Foto: Dokumentasi Tradisi)

Roko Molas Poco: Tradisi Adat Manggarai yang Mengajarkan Harmoni Alam dan Penghormatan Perempuan

Dunia modern menghadapi krisis ekologis yang kian mendalam. Deforestasi, pencemaran lingkungan, perubahan iklim, dan punahnya keanekaragaman hayati menjadi tanda bahwa hubungan manusia dan alam telah rusak. Dalam pandangan spiritual dan moral, krisis ini bukan semata akibat teknologi atau industri, melainkan karena hilangnya kesadaran akan kesucian alam sebagai ciptaan Tuhan.

Sementara dunia baru mulai menyadari pentingnya menjaga relasi harmonis dengan bumi, masyarakat adat Indonesia telah sejak lama menjalani kehidupan yang selaras dengan alam. Salah satu contoh nyata dari kearifan lokal tersebut adalah tradisi Roko Molas Poco yang berasal dari masyarakat Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Roko Molas Poco merupakan upacara adat yang dilakukan saat mendirikan rumah adat atau Mbaru Gendang. Tradisi ini mengandung filosofi spiritual dan ekologis yang sangat dalam. Melalui pengambilan dan pemasangan tiang utama rumah adat yang disebut siri bongkok, masyarakat Manggarai menyimbolkan penghormatan terhadap perempuan dan alam. Pohon yang ditebang dari hutan dianggap sebagai “perempuan dari hutan” yang dipinang secara sakral.

Apa Itu Roko Molas Poco?

Roko Molas Poco adalah sebuah prosesi adat Manggarai dalam proses pembangunan rumah adat. Kata "roko" berarti mengusung atau membawa, sementara "molas poco" berarti perempuan cantik dari gunung atau hutan. Tradisi ini menggambarkan pengangkatan kayu utama rumah adat sebagai simbol perempuan yang diundang masuk ke dalam rumah untuk menjadi pusat kehidupan.

Tradisi ini menunjukkan kesadaran spiritual yang dalam. Kayu tidak dianggap benda mati, melainkan memiliki roh dan nilai yang hidup. Pengambilan kayu dilakukan melalui doa, pengorbanan, dan penghormatan. Konsep ini memperlihatkan bahwa masyarakat Manggarai memandang hutan dan pohon sebagai ciptaan Tuhan yang harus dihargai, bukan dieksploitasi.

Tahapan Prosesi Roko Molas Poco

Upacara ini dilakukan dalam tiga tahapan besar, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap penanaman. Masing-masing tahapan memuat ritus khusus yang sarat nilai spiritual, sosial, dan ekologis.

1. Tahap Persiapan

Diawali dengan musyawarah bersama atau lonto leok, yang melibatkan para tetua adat dan warga kampung. Musyawarah ini membahas pembagian peran, pencarian bahan bangunan, serta dana yang dibutuhkan. Setelah itu, dilakukan ritual hang cama (makan bersama) dan teing hang (persembahan awal di compang atau altar kampung) untuk memohon restu leluhur.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Ela Racang Cola

Sebelum berangkat ke hutan, warga melakukan upacara permohonan izin. Ayam putih dikurbankan dan doa dipanjatkan kepada Tuhan dan roh hutan agar perjalanan diberkati.

b. Pemilihan Siri Bongkok

Kayu yang dipilih harus memenuhi tanda spiritual. Jika kapak yang digunakan menancap kuat di batang pohon, maka kayu tersebut dianggap layak dan disetujui leluhur. Sebelum ditebang, dilakukan permohonan maaf kepada penghuni hutan dengan telur sebagai simbol damai.

c. Manuk Kapu

Setelah kayu ditemukan, warga mempersembahkan ayam sebagai tanda syukur kepada Tuhan dan leluhur. Darah ayam dipercikkan pada kayu sebagai lambang penyucian.

d. Ela We’ang Wejang

Kayu-kayu dikumpulkan di satu titik. Upacara pembersihan dilakukan dengan mengorbankan seekor babi agar tempat penyimpanan menjadi suci dan diterima oleh roh penjaga hutan.

e. Roko Molas Poco (Pengusungan Kayu)

Ini adalah prosesi puncak: kayu utama diarak ke kampung dengan iringan musik dan tarian. Di atas kayu duduk seorang gadis berpakaian adat, menandakan kayu sebagai “perempuan dari hutan” yang dipinang dan dibawa masuk ke rumah adat. Sesampainya di gerbang kampung, telur dipecahkan sebagai simbol kehidupan dan kesuburan.

f. Ela Hambor Haju

Semua kayu yang telah dibawa dimurnikan melalui upacara ini. Seekor babi kembali dikorbankan, dan darahnya digunakan untuk menyatukan semua kayu secara spiritual.

3. Tahap Penanaman Siri Bongkok

Kayu utama ditanam di tengah rumah. Dalam lubang kayu diletakkan telur, ayam, anjing kecil, uang logam, atau kalung sebagai simbol kehidupan, penjagaan spiritual, dan mas kawin. Setelah ditanam, rumah adat dianggap hidup dan siap dihuni serta digunakan untuk ritual adat lainnya.

Simbol Perempuan dan Alam dalam Budaya Manggarai

Perempuan dan alam dalam budaya Manggarai ditempatkan pada posisi yang sakral. Tradisi Roko Molas Poco menunjukkan bahwa merusak pohon secara sembarangan sama buruknya dengan menyakiti perempuan. Keduanya adalah ibu kehidupan: memberikan perlindungan, kesuburan, dan kesinambungan generasi. Penghormatan terhadap perempuan dan alam berjalan bersamaan sebagai inti dari harmoni sosial dan spiritual.

Ekoteologi dalam Tradisi Manggarai dan Laudato Si'

Nilai-nilai dalam Roko Molas Poco sangat sejalan dengan ensiklik Laudato Si' oleh Paus Fransiskus. Dalam ajaran tersebut, manusia diundang untuk membangun kembali relasi spiritual dengan bumi dan seluruh ciptaan. Alam bukan hanya ruang fisik, tetapi juga wujud kasih Tuhan. Dalam tradisi Manggarai, hutan adalah tempat tinggal Tuhan dan leluhur, sehingga pohon tidak boleh ditebang tanpa doa dan persembahan.

Inilah yang disebut dengan teologi ekologi: spiritualitas yang tumbuh dari kesadaran akan kesucian alam. Masyarakat Manggarai telah menjalankannya jauh sebelum istilah ini dikenal luas.

Penutup: Warisan Leluhur untuk Masa Depan Bumi

Tradisi Roko Molas Poco adalah warisan luhur masyarakat adat Manggarai yang mengajarkan kita bahwa pembangunan tidak boleh mengabaikan nilai spiritual dan ekologis. Kayu bukan hanya bahan bangunan, melainkan simbol kehidupan. Hutan bukan sekadar sumber ekonomi, tapi tempat suci yang harus dihormati.

Di tengah krisis iklim dan hilangnya nilai-nilai ekologis, tradisi seperti ini menjadi cermin sekaligus solusi. Ia mengajak kita untuk memandang kembali relasi kita dengan alam sebagai sesuatu yang suci dan harus dijaga bersama.

Semoga nilai-nilai dalam Roko Molas Poco terus diwariskan, tidak hanya bagi generasi Manggarai, tetapi juga bagi siapa pun yang mencintai bumi ini sebagai rumah bersama.


Label: Tradisi Manggarai, Budaya NTT, Roko Molas Poco, Rumah Adat, Teologi Ekologi, Perempuan dan Alam, Laudato Si, Kearifan Lokal

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Inosentius Samsul: 35 Tahun di DPR Hingga Jadi Hakim Mahkamah Konstitusi

PPPK Paruh Waktu Diangkat Menjadi Penuh Waktu: Desakan DPR dan DPD RI ke Pemerintah untuk Segera Bertindak

Permata Tersembunyi di Manggarai Barat: Menjelajahi Air Terjun Cunca Polo

Cara Cek PKH dan PIP 2025 Lewat HP: Panduan Lengkap, Mudah, dan Resmi

Tenaga Kerja Asal Bajawa Diduga Disiksa di Sebuah Yayasan di Bogor, Dibebaskan NTT Bogor Raya