Bendera One Piece Dikibarkan di Indonesia Jelang 17 Agustus: Makna, Hukum, dan Respons Pemerintah

Mengapa Bendera One Piece Ramai Dikibarkan? Antara Ekspresi Budaya, Hukum, dan Nasionalisme



Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh tren baru di berbagai daerah: pengibaran bendera bajak laut dari anime One Piece, lengkap dengan simbol tengkorak dan topi jerami. Fenomena ini tak hanya memicu rasa ingin tahu publik, tetapi juga memantik kontroversi dan polemik—terutama dari kalangan pejabat dan aparat yang melihatnya sebagai potensi pelanggaran hukum.

Namun apakah benar tindakan ini merupakan bentuk makar atau penghinaan terhadap lambang negara? Atau justru merupakan ekspresi sah warga negara dalam negara demokrasi? Artikel ini mencoba mengupas fenomena ini dari berbagai perspektif: hukum, budaya populer, hingga politik nasional.


Apa Itu Bendera One Piece dan Mengapa Dikibarkan?

Bendera yang ramai dikibarkan ini adalah replika dari bendera kelompok bajak laut Topi Jerami dalam anime dan manga Jepang One Piece. Simbol ini, yang dikenal sebagai Jolly Roger, menampilkan tengkorak dengan topi jerami dan dua tulang menyilang di belakangnya. Dalam cerita fiksinya, bendera ini menjadi lambang keberanian, kebebasan, dan solidaritas para kru bajak laut melawan sistem yang korup dan otoriter.

Bagi penggemar One Piece, simbol ini memiliki makna emosional dan filosofis: perjuangan melawan ketidakadilan, kesetiaan terhadap teman, dan tekad mencapai impian. Pengibaran bendera ini di berbagai tempat, mulai dari rumah hingga tiang lapangan, dimaksudkan oleh sebagian masyarakat sebagai ungkapan kebanggaan terhadap tokoh-tokoh fiksi tersebut—bukan sebagai pengganti Bendera Merah Putih.


Respons Pemerintah: Antara Ketegasan dan Kewaspadaan

Sejumlah pihak di pemerintahan menyatakan keprihatinan dan mengimbau agar masyarakat tidak mengibarkan bendera selain Bendera Merah Putih menjelang hari kemerdekaan. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, bahkan menyatakan bahwa pengibaran bendera One Piece bisa dilarang apabila menimbulkan kegaduhan, sekalipun tidak melanggar hukum secara langsung.

“Kalau mengganggu ketertiban, tentu bisa dilarang,” ujar Yasonna.
CNNIndonesia.com, 3 Agustus 2025

Sementara itu, pemerintah melalui Kemendagri dan aparat keamanan disebut mulai menelusuri pengibaran-pengibaran bendera One Piece, bahkan meminta bantuan RT untuk mendata warga yang mengibarkannya.
Tempo.co, 4 Agustus 2025

Respons ini mengundang pertanyaan yang lebih dalam: apakah negara mulai terlalu jauh mencampuri ruang-ruang ekspresi budaya warganya, bahkan ketika ekspresi itu bersifat fiktif dan tidak bertentangan secara langsung dengan hukum? Dalam konteks demokrasi yang sehat, perbedaan cara warga dalam merayakan kebebasan, termasuk melalui simbol-simbol budaya populer, semestinya dipahami sebagai bagian dari kebhinekaan ekspresi yang justru memperkaya ruang publik. Ketimbang membatasi, negara idealnya mendorong dialog terbuka agar setiap bentuk ekspresi bisa ditempatkan secara proporsional, bukan dicurigai secara berlebihan.


Sikap Parlemen: Berbeda Pendapat, Tanda Demokrasi yang Hidup

Di sisi lain, kalangan parlemen cenderung lebih bijak dan moderat dalam menanggapi fenomena ini. Ketua MPR RI Ahmad Muzani menyatakan bahwa tindakan masyarakat ini harus dilihat sebagai ekspresi kreativitas yang tidak dimaksudkan untuk merendahkan lambang negara, melainkan sebagai bentuk ekspresi emosional dan simbolik terhadap nilai-nilai universal seperti kebebasan dan keadilan yang sering diangkat dalam budaya populer. Ia menilai bahwa respons masyarakat terhadap anime seperti One Piece tidak bisa disamakan dengan tindakan subversif, karena tidak memiliki muatan politik yang mengancam kedaulatan negara.

“Saya percaya bahwa masyarakat tetap menjunjung tinggi semangat nasionalisme. Mereka hanya ingin mengekspresikan kecintaan terhadap kebebasan dan keadilan dengan cara yang mereka kenal dan sukai.”
Kompas.com, 3 Agustus 2025

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, juga menyampaikan bahwa pengibaran simbol fiktif tidak serta-merta menyalahi aturan, selama tidak dilakukan dalam konteks resmi kenegaraan atau menggantikan bendera negara. Ia menambahkan bahwa tindakan tersebut dapat dimaklumi sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi. Menurutnya, perlu dibedakan antara simbol fiksi yang digunakan dalam konteks hiburan atau komunitas penggemar dengan tindakan-tindakan nyata yang menodai kehormatan simbol negara. Oleh karena itu, ia mengimbau aparat dan publik untuk tidak serta-merta melakukan kriminalisasi tanpa mempertimbangkan niat dan konteks di balik tindakan tersebut.

“Kalau itu dilakukan dalam rangka kreativitas dan hiburan tanpa niat buruk, kita tidak perlu melihatnya sebagai pelanggaran serius.”
Kompas.com, 4 Agustus 2025


Tinjauan Hukum: Apakah Ini Pelanggaran atau Bukan?

Dari sisi hukum, perlu ditinjau apakah pengibaran bendera One Piece melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Beberapa pihak menilai bahwa tindakan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana atau pelanggaran terhadap lambang negara.

Menurut Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, pengibaran bendera One Piece merupakan ekspresi budaya populer dan tidak bisa dianggap sebagai bentuk makar. Ia menekankan bahwa tidak ada dasar hukum yang kuat untuk menindak warga hanya karena mengibarkan simbol fiktif dari budaya Jepang.

“Tidak ada aturan hukum yang bisa menjerat warga hanya karena mengibarkan bendera bajak laut fiksi. Ini bukan makar dan tidak bisa dipidana.”
Republika, 3 Agustus 2025

UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, memang mengatur ketentuan tentang penghormatan terhadap Bendera Merah Putih. Dalam Pasal 24 huruf c dan huruf f disebutkan:

Pasal 24
Setiap orang dilarang:
c. mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau pudar;
f. menggunakan bendera negara untuk reklame atau iklan komersial.

Namun, undang-undang tersebut tidak mengatur tentang larangan pengibaran bendera selain Bendera Merah Putih selama tidak menggantikan peran simbol negara dalam konteks resmi atau protokoler.

Pasal 67–69: Memuat rincian sanksi administratif dan ketentuan tambahan. Misalnya, Pasal 67 menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 24 huruf c dan huruf f dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, penghentian kegiatan, hingga pencabutan izin. Namun, tidak ada satu pun pasal yang secara eksplisit melarang pengibaran bendera fiktif seperti simbol dari budaya populer atau anime.

Dengan demikian, selama tidak menggeser posisi Bendera Merah Putih sebagai lambang resmi kenegaraan, pengibaran bendera One Piece lebih tepat dipandang sebagai ekspresi individual yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”

 Antara Simbol Budaya dan Identitas Bangsa

Fenomena pengibaran bendera One Piece menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus telah membuka ruang dialog yang menarik antara hukum, budaya populer, dan nasionalisme. Ia menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia, terutama generasi muda, semakin kreatif dalam mengekspresikan jati diri dan nilai-nilai yang mereka yakini—baik itu melalui simbol lokal maupun internasional.

Daripada buru-buru menghakimi atau melarang, negara dan aparat semestinya menanggapi dengan pendekatan edukatif dan kultural. Selama Bendera Merah Putih tetap dihormati dan tidak digantikan dalam konteks resmi kenegaraan, ekspresi masyarakat melalui bendera fiksi seperti One Piece sepatutnya dipahami sebagai bentuk partisipasi dalam ruang publik, bukan sebagai tindakan yang mengancam keutuhan bangsa.

Di tengah tantangan globalisasi dan maraknya budaya digital, mungkin sudah waktunya kita mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dalam melihat bagaimana masyarakat—khususnya anak muda—menyerap, menafsirkan, dan mengekspresikan nilai-nilai kebangsaan melalui lensa budaya yang lebih luas.

Sebagaimana Gus Dur pernah berkata:

“Yang lebih penting dari simbol adalah makna dan sikap hati.”

Maka, mari rayakan kemerdekaan bukan hanya dengan bendera, tapi juga dengan semangat terbuka, penghormatan terhadap perbedaan, dan keberanian untuk berdialog tanpa saling mencurigai 


Sumber: CNN IndonesiaKompas.comHukumonlineBBC IndonesiaDetikTempoCNBC IndonesiaSindonewsRepublika

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permata Tersembunyi di Manggarai Barat: Menjelajahi Air Terjun Cunca Polo

Pantai Mberenang: Permata Tersembunyi di Jalur Wisata Labuan Bajo – Wae Rebo

Gerak Cepat, Polisi Berhasil Mengungkap Kasus Kematian Saudari SME di Desa Nggilat

Tragedi KM Barcelona V: Kronologi Kebakaran, Korban, dan Aksi Heroik Penyelamatan

Fenomena Bendera One Piece Jelang HUT RI ke-80: Simbol Perlawanan, Kritik Sosial, dan Polemik Nasionalisme