Potret Ironi HUT RI ke-80: Bocah di Gowa Mengais Sisa Makanan dan Isu Kenaikan Tunjangan DPR

Bocah di Gowa Mengais Sisa Makanan di HUT RI ke-80

Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia yang seharusnya menjadi momentum refleksi atas perjalanan panjang bangsa ini, justru diwarnai dengan potret memilukan dari Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dua bocah kecil, Syamsul (7) dan Muhammad Aidil (7), terekam kamera sedang mengais sisa makanan dari kotak tamu undangan saat perayaan di Lapangan Sultan Hasanuddin.

Video itu cepat sekali menyebar, dilansir dari Liputan6 dan Detik.com, keduanya tampak mengambil kue yang belum sempat disantap oleh para pejabat dan undangan. Sekilas, peristiwa ini mungkin dianggap sepele. Namun di baliknya, ada pesan yang jauh lebih dalam: masih ada anak-anak Indonesia yang harus berjuang demi sesuap makanan, bahkan pada hari ketika bangsa ini merayakan kemerdekaan.

Reaksi Publik dan Media Sosial


Potongan video tersebut sontak viral di media sosial, dengan ribuan komentar dari warganet yang mengekspresikan keprihatinan. Banyak yang merasa miris, marah, bahkan menilai bahwa ini adalah tamparan keras bagi bangsa yang tengah berbangga merayakan usia kemerdekaan ke-80.

Sebagian komentar menyoroti kontras antara perayaan mewah dengan kenyataan sosial di lapangan. “Merdeka untuk siapa?” begitu tulis salah seorang pengguna media sosial, menyoroti ketimpangan yang terasa semakin mencolok.

Respons Cepat Kapolres Gowa

Dilansir dari Liputan6 Regional, Kapolres Gowa, AKBP Muhammad Aldy Sulaiman, turun langsung merespons kejadian ini. Ia mendatangi keluarga kedua bocah tersebut dan mengundang mereka ke Mapolres Gowa. Bukan hanya sekadar undangan, Kapolres memberikan perhatian nyata berupa sepeda baru, perlengkapan sekolah, sembako, hingga uang tunai.

Lebih dari itu, Syamsul dan Aidil bahkan diantar pulang dengan pengawalan Patwal polisi, sebuah simbol bahwa negara hadir untuk melindungi rakyat kecil. Walau sederhana, tindakan ini memberikan harapan dan menunjukkan empati yang seharusnya diteladani oleh pejabat lainnya.

Kemerdekaan dan Realitas Sosial

Peristiwa ini bukan sekadar kisah dua bocah kecil. Lebih dari itu, ia adalah simbol. Kemerdekaan yang kita rayakan setiap 17 Agustus seharusnya bermakna bahwa rakyat bebas dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Namun faktanya, di banyak daerah, masih banyak anak-anak yang kesulitan mendapatkan pendidikan, gizi, bahkan makanan layak.

Kemerdekaan yang sejati adalah ketika setiap anak Indonesia bisa sekolah tanpa khawatir soal biaya, ketika setiap keluarga bisa makan tiga kali sehari tanpa harus mengais sisa makanan dari acara resmi.

Ironi di Tengah Wacana Kenaikan Gaji DPR

Ironisnya, di tengah kehebohan bocah di Gowa ini, publik juga disuguhi berita tentang wacana kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR RI. Dilansir dari berbagai media nasional, total penghasilan anggota DPR yang mencakup gaji pokok, tunjangan istri, anak, perumahan, transportasi, hingga komunikasi bisa mencapai puluhan juta rupiah setiap bulan.

Wacana kenaikan gaji dan tunjangan ini tentu menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Kontras antara fasilitas mewah yang dinikmati wakil rakyat dengan realitas rakyat kecil seperti Syamsul dan Aidil semakin memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap institusi politik.

Komentar di media sosial pun ramai menyinggung isu ini. Banyak yang mengatakan, “Kalau untuk menaikkan gaji DPR ada ruang anggaran, tapi untuk mengentaskan kemiskinan anak-anak masih penuh alasan.” Kalimat itu menggambarkan rasa frustrasi sekaligus kritik tajam terhadap sistem yang ada.

Refleksi Kemerdekaan ke-80

Perayaan HUT RI ke-80 seharusnya menjadi momentum untuk mengingat kembali esensi kemerdekaan. Bukan sekadar upacara, parade, atau pesta. Bukan sekadar simbol dan seremonial. Tetapi bagaimana negara hadir nyata untuk rakyatnya.

Kasus di Gowa ini menjadi cermin bahwa perjuangan bangsa masih jauh dari selesai. Ada pekerjaan besar menanti: menghapus kemiskinan, memberikan pendidikan layak, serta memastikan setiap anak Indonesia tidak lagi harus mengais sisa makanan demi bertahan hidup.



Kisah Syamsul dan Aidil bukan sekadar berita viral. Ia adalah alarm yang seharusnya membangunkan kita semua, terutama para pemimpin dan wakil rakyat, bahwa kemerdekaan sejati masih harus diperjuangkan.

Jika di tengah pesta kemerdekaan masih ada bocah kecil yang lapar, maka ada yang salah dalam arah perjuangan bangsa ini. Jika di tengah jeritan rakyat kecil masih ada wacana menaikkan gaji pejabat, maka ada yang keliru dalam prioritas kebijakan negara.

Semoga momentum ini menyadarkan kita, bahwa tugas utama pemimpin bukanlah memperkaya diri, melainkan memastikan tidak ada lagi rakyat yang tertinggal. Karena kemerdekaan yang sejati adalah ketika seluruh rakyat Indonesia benar-benar merdeka dari kemiskinan, ketidakadilan, dan ketidakpedulian. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Inosentius Samsul: 35 Tahun di DPR Hingga Jadi Hakim Mahkamah Konstitusi

Permata Tersembunyi di Manggarai Barat: Menjelajahi Air Terjun Cunca Polo

Pink Beach NTT Dinobatkan Sebagai Pantai Terindah di Dunia 2025

Pantai Mberenang: Permata Tersembunyi di Jalur Wisata Labuan Bajo – Wae Rebo

Fenomena Bendera One Piece Jelang HUT RI ke-80: Simbol Perlawanan, Kritik Sosial, dan Polemik Nasionalisme