Ryu Kintaro: “Bocil Perintis” di Balik Sorotan Privilege dan Kontroversi
![]() |
Foto : Instagram/@ryu_kintaro |
Nama Ryu Kintaro belakangan ini ramai diperbincangkan warganet setelah videonya tentang “serunya hidup sebagai perintis bisnis” viral di berbagai platform media sosial. Dalam video berdurasi singkat itu, bocah 9 tahun ini tampak percaya diri berbicara tentang perjalanan dan suka duka merintis usaha dari usia dini. Ia menyebut bahwa ketidakpastian adalah bagian paling menarik dari menjadi perintis.
Namun, alih-alih menuai pujian semata, video tersebut justru mengundang reaksi beragam. Sebagian netizen mengagumi keberaniannya berbicara di depan kamera dan mengelola bisnis di usia belia. Tapi tak sedikit pula yang mempertanyakan seberapa “perintis” sebenarnya Ryu, jika melihat latar belakang keluarganya yang sangat mapan secara ekonomi.
Bocah dengan Banyak Talenta
Ryu Kintaro bukan anak sembarangan. Ia sudah aktif sebagai konten kreator sejak usia 5 tahun, dengan kanal YouTube yang kini memiliki lebih dari 1 juta subscriber. Di akun media sosialnya, Ryu rutin membagikan konten edukasi ringan, kisah seputar bisnis, dan rutinitas harian sebagai “anak pebisnis”.
Ryu pernah merintis berbagai bisnis kecil, mulai dari gerobak ayam crispy, minuman susu segar, hingga produk jamu kekinian bernama Tjap Nyonya Kaya. Beberapa bisnisnya sempat gulung tikar, tapi saat ini ia fokus menjalankan usaha jamu yang disebut-sebut ramah anak dan tidak pahit.
Jamu tersebut dijual dengan harga terjangkau dan diklaim sebagai bentuk pelestarian budaya minum jamu di kalangan generasi muda. Bahkan, usaha jamunya telah membuka gerai di kawasan Gading Serpong dan menarik perhatian media serta konsumen dari berbagai kalangan.
Runner-Up Wirausaha Muda Asia Tenggara
Ryu juga membuktikan diri lewat pencapaian prestisius. Ia menjadi runner-up dalam ajang South East Asia Young Entrepreneur X Factor (YEXfactor) 2025—kompetisi kewirausahaan remaja se-Asia Tenggara. Ajang ini mengapresiasi anak-anak dan remaja yang punya gagasan dan usaha nyata di bidang bisnis.
Penghargaan tersebut menjadi bukti bahwa Ryu bukan sekadar viral karena nama besar atau fasilitas, melainkan juga karena upayanya membangun dan mempertahankan bisnis di usia yang sangat muda.
Ayah Seorang Konglomerat
Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa Ryu Kintaro lahir dan tumbuh dalam keluarga dengan privilese luar biasa. Ayahnya, Christopher Sebastian, adalah pendiri dan CEO Makko Group, sebuah kerajaan bisnis yang mencakup industri otomotif, kaca film mobil, kuliner, hingga franchise makanan.
Makko Group dikenal sebagai distributor resmi kaca film 3M di Indonesia dan memiliki jaringan bisnis yang luas di berbagai sektor. Dari segi ekonomi dan akses jaringan, Ryu jelas memiliki dukungan kuat yang tidak dimiliki oleh kebanyakan anak-anak lain di luar sana.
Ia bahkan pernah menjajakan susu segar dan ayam goreng dari dalam mobil Lexus senilai miliaran rupiah—suatu hal yang jelas sangat kontras dengan kisah perjuangan pedagang kaki lima pada umumnya.
Netizen Terbelah: Inspirasi atau Sekadar Flexing?
Reaksi masyarakat terhadap Ryu pun terbelah. Di satu sisi, banyak yang menganggap Ryu sebagai inspirasi bagi generasi muda. Ia dianggap berani, penuh semangat, dan memiliki visi kewirausahaan yang jarang dimiliki anak-anak seusianya.
Namun di sisi lain, banyak yang menyuarakan kritik tajam. Netizen mempertanyakan narasi “merintis bisnis dari nol” yang disampaikan Ryu. Beberapa menyebut bahwa pengalaman Ryu sangat jauh dari realitas kebanyakan pelaku UMKM di Indonesia, yang harus berjuang keras tanpa bantuan modal, jaringan, atau fasilitas mewah.
Kalimat Ryu dalam video viral itu:
“Yang paling seru itu justru hidup sebagai perintis. Gak ada yang nunjukin arah, gak ada yang menjamin hasil,”
bagi sebagian orang terdengar naif, mengingat Ryu memiliki keluarga yang dapat membimbing dan menopang setiap langkah usahanya.
Privilege Bukan Dosa, Tapi Harus Disadari
Isu privilege memang selalu sensitif. Dalam konteks Ryu Kintaro, warganet mengingatkan bahwa menjadi anak dari orang kaya bukanlah kesalahan. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika narasi “perjuangan” dikemas seolah tanpa latar belakang privilese, dan dijadikan inspirasi umum tanpa konteks yang adil.
Menginspirasi orang lain adalah hal baik, tetapi alangkah lebih bijak jika dibarengi dengan kesadaran posisi sosial dan ekonomi. Ketika anak-anak seperti Ryu menyampaikan pengalaman “memulai bisnis”, akan lebih etis jika juga disampaikan bahwa mereka memiliki akses, mentor, dan modal yang memadai sejak awal.
Dengan begitu, kisah sukses mereka bisa lebih relevan dan tidak menimbulkan salah kaprah di kalangan masyarakat luas, terutama anak muda yang masih berjuang dari bawah.
Pelajaran dari Ryu Kintaro
Meski demikian, ada pelajaran penting yang bisa diambil dari sosok Ryu Kintaro. Ia menunjukkan bahwa usia muda bukan halangan untuk mulai belajar bisnis. Ia juga membuktikan bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya, sebagaimana terlihat dari beberapa usahanya yang sempat tutup namun tidak mematahkan semangatnya.
Ryu juga memperlihatkan pentingnya eksplorasi minat sejak dini, dan bagaimana orang tua bisa berperan aktif dalam mendukung anak-anak menemukan jati diri mereka. Jika semua keluarga mampu memberi ruang dan dukungan seperti ini—meski dalam bentuk sederhana—maka potensi anak-anak Indonesia bisa berkembang jauh lebih baik.
Akhir Kata
Ryu Kintaro adalah sosok kompleks. Ia adalah anak yang cerdas, penuh semangat, dan punya mimpi besar. Tapi ia juga tumbuh dalam lingkungan yang sangat mendukung dan penuh fasilitas. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan.
Mengangkat kisahnya ke ruang publik tentu menarik, tetapi perlu juga disertai dengan narasi yang jujur dan sadar konteks. Jangan sampai cerita perjuangan “perintis” yang mewah justru mereduksi realitas keras yang dihadapi oleh mayoritas pelaku usaha kecil dan masyarakat umum.
Sebagai publik, kita pun perlu bijak dalam menilai: mengagumi semangatnya, tetapi juga kritis pada narasi yang disampaikan. Dengan begitu, kita bisa belajar tanpa harus terkecoh oleh kemasan yang tampak indah di permukaan.
Komentar
Posting Komentar