Kota di Bawah Kabut Ranaka – Awal Kisah Romantis Thebaldus & Anjany di Ruteng
Bab 1:
Kota di Bawah Kabut Ranaka.
Kota di Bawah Kabut Ranaka
Ruteng selalu bangun lebih dulu sebelum matahari benar-benar naik. Kabut turun dari Gunung Ranaka, menyelimuti jalan-jalan sempit berlapis batu, merayap ke atap rumah-rumah yang berdiri tenang, seakan kota ini masih terlelap di dalam mimpi. Udara pagi di sini dingin, menusuk hingga tulang, tetapi entah mengapa, ada rasa hangat yang sulit dijelaskan setiap kali menapakkan kaki di kota ini.
Bagi sebagian orang, Ruteng hanyalah kota kecil yang sepi, jauh dari hiruk pikuk kota besar. Tapi bagi sebagian lainnya, Ruteng adalah rumah bagi cerita-cerita yang tak akan pernah bisa dilupakan. Dan bagi Thebaldus, kota ini adalah awal dari segalanya.
Thebaldus berjalan perlahan di jalan setapak menuju pasar. Di pundaknya tergantung tas kulit yang mulai pudar warnanya, tanda usia kerja keras yang ia jalani. Dia bukan mahasiswa, bukan anak muda dengan baju rapi yang duduk di kelas kuliah. Hidupnya sudah berbeda. Ruteng baginya adalah tempat bekerja, mencari sesuap nasi, dan menabung mimpi yang sering kali terasa terlalu jauh untuk digapai.
Namun di balik wajah seriusnya, ada jiwa yang rapuh, haus akan perhatian, haus akan cinta. Dan cinta itu, ia tak tahu, sudah menunggunya di kota ini—di balik kabut yang perlahan menipis, di balik dingin udara yang menyelimutinya setiap hari.
Di sisi lain kota, Anjany menutup buku tebal yang sejak tadi menemaninya. Semester akhir membuatnya sibuk, namun bukan berarti ia kehilangan waktu untuk memandang keluar jendela. Dari balik tirai tipis kamarnya, ia bisa melihat puncak Ranaka, berdiri kokoh seperti raksasa yang menjaga kota.
"Ranaka itu kokoh banget ya," gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Kalau cinta bisa kayak gitu, mungkin nggak akan pernah runtuh."
Anjany adalah gadis yang hidup di antara dunia kampus dan dunia impian. Ia suka menulis puisi, meski tak pernah berani membacakannya di depan orang lain. Ia suka tersenyum sendiri saat menatap senja, meski orang-orang kadang menganggapnya aneh. Baginya, cinta bukan sekadar rasa, tapi juga cerita yang layak diabadikan.
Dan ia tak tahu, di suatu sore nanti, cerita itu akan benar-benar dimulai.
Hari itu, Ruteng seperti biasa: sibuk dengan kesederhanaannya. Pasar ramai oleh suara pedagang, jalan-jalan dipenuhi anak sekolah, dan di sudut tertentu ada sebuah kos-kosan berbilik bambu yang terlihat paling sederhana di antara bangunan lainnya. Kos-kosan itu sering menjadi tempat singgah mahasiswa perantauan. Tapi, entah kenapa, tempat itu pula yang menjadi saksi bisu lahirnya cinta.
Thebaldus sering lewat depan kos-kosan itu sepulang kerja. Ada sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak setiap kali melewati pagar kayu yang mulai lapuk. Bukan karena bangunannya, tapi karena seseorang yang sering duduk di beranda kecilnya.
Seorang gadis dengan rambut panjang yang terkadang dibiarkan terurai, kadang juga diikat seadanya. Gadis itu selalu ditemani buku, entah itu catatan kuliah atau sekadar novel. Dan setiap kali Thebaldus lewat, mata mereka bertemu sebentar.
Sekilas.
Seperti tatapan yang tak sengaja, tapi cukup membuat jantung Thebaldus berdetak lebih cepat.
“Siapa dia?” tanya Thebaldus dalam hati.
Dan di dalam hati yang sama, Anjany juga bertanya hal serupa.
Ruteng memang kecil. Jalan-jalannya sempit, orang-orangnya mudah saling kenal. Tapi cinta, sekali ia datang, bisa membuat kota sekecil apapun terasa luas, bahkan tak terbatas.
Hari itu, kabut Ranaka turun lebih cepat. Udara makin dingin, dan Thebaldus memutuskan singgah sebentar di warung kopi kecil. Dari dalam warung, ia bisa melihat sosok yang selama ini membuatnya penasaran: Anjany. Ia keluar dari kos, menenteng buku dan berjalan pelan.
Entah karena keberanian yang tiba-tiba muncul, Thebaldus meninggalkan kopinya. Ia melangkah keluar, menyusuri jalan, dan akhirnya berada beberapa langkah di belakang Anjany.
“Permisi…” suara Thebaldus terdengar ragu.
Anjany berhenti, menoleh. Senyumnya tipis, sopan. “Iya?”
“Aku sering lihat kamu… eh, maksudnya sering nggak sengaja lihat kamu di kos itu,” ucap Thebaldus agak canggung.
Anjany tersenyum kecil, lalu menjawab pelan, “Oh, jadi kamu yang sering lewat depan kosku ya?”
Thebaldus menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Hehe, iya… Maaf kalau kelihatan aneh.”
“Enggak kok.”
Sejenak hening. Lalu, seperti ada sesuatu yang memaksa keluar dari hati, Thebaldus menambahkan:
“Nama aku Thebaldus. Boleh tahu namamu?”
Anjany menatapnya sejenak, lalu tersenyum. “Anjany.”
Nama itu menempel kuat di benak Thebaldus, seperti ukiran yang tidak akan pernah hilang.
Sejak pertemuan sederhana itu, ada sesuatu yang berubah. Ruteng tidak lagi terasa terlalu sepi bagi Thebaldus. Setiap kali kabut turun, ia merasa ada yang menunggu. Dan setiap kali melewati kos bambu itu, ia tidak lagi hanya lewat, tapi juga singgah.
“Belajar apa?” tanya Thebaldus suatu sore ketika ia melihat Anjany sibuk dengan bukunya.
“Akuntansi,” jawab Anjany singkat.
“Waduh, itu kayaknya susah banget.”
Anjany tertawa kecil. “Kalau buat kamu mungkin susah. Tapi buat aku, ini makanan sehari-hari.”
Thebaldus ikut tertawa, lalu duduk di anak tangga kos. Udara sore itu dingin, tapi entah kenapa percakapan mereka terasa hangat.
Dan di situlah, sebuah cerita mulai tumbuh. Cerita yang akan panjang, melewati banyak ujian, penuh tawa sekaligus air mata.
Cerita yang akan membuat Ruteng, kota kecil di bawah kaki Ranaka, menjadi saksi cinta yang tak biasa.

Komentar
Posting Komentar