Kosan Bambu dan Pertemuan Pertama – Awal Romansa Thebaldus & Anjany di Ruteng
Next Part Bab 2:
Kosan Bambu dan Pertemuan Pertama
Kosan itu sederhana. Dindingnya dari bilik bambu, atapnya seng yang berderak kalau hujan turun, dan lantainya hanya semen kasar. Tapi di balik kesederhanaannya, kosan itu seperti menyimpan sebuah rahasia. Sebuah ruang kecil di kota Ruteng yang akan menjadi saksi lahirnya cinta dua manusia: Thebaldus dan Anjany.
Thebaldus sudah lama memperhatikan kosan itu. Setiap kali ia pulang kerja melewati jalan kecil di bawah pohon flamboyan, matanya tak sengaja tertuju pada beranda mungil di depan kos. Di sana, sering kali terlihat seorang gadis duduk sambil menunduk, menulis sesuatu di buku catatan, atau sekadar menatap langit sore.
Itu pertama kali ia melihat Anjany. Rambut hitamnya jatuh melewati bahu, sesekali ia sisir dengan jarinya. Senyum tipis muncul ketika angin sore mengibaskan tirai tipis jendela kamarnya. Ada sesuatu yang membuat Thebaldus berhenti sejenak.
"Kenapa gadis itu kelihatan... beda?" batinnya bertanya.
Sore itu, keberanian yang entah datang dari mana membuat Thebaldus berhenti. Ia pura-pura merapikan sandal yang dikenakannya di depan kos, padahal hatinya berdebar keras. Anjany yang duduk di kursi bambu menoleh sebentar. Tatapan mereka bertemu. Sekilas. Tapi cukup untuk membuat jantung Thebaldus berdegup tak beraturan.
“Permisi…” suara Thebaldus terdengar ragu.
Anjany mengangkat wajahnya, menoleh. Senyum tipis terbit. “Iya?”
“Aku sering lihat kamu… eh, maksudnya… sering nggak sengaja lihat kamu di sini,” Thebaldus terbata.
Anjany tersenyum kecil. “Oh, jadi kamu yang sering lewat depan kosku, ya?”
Thebaldus menggaruk kepala yang tidak gatal. “Hehe, iya… maaf kalau kedengeran aneh.”
“Nggak kok.”
Keheningan sempat jatuh di antara mereka. Tapi hening itu bukan hening yang kaku. Ada sesuatu yang berdenyut pelan, seperti musik yang hanya mereka berdua yang bisa mendengarnya.
“Nama aku Thebaldus. Boleh tahu namamu?” katanya akhirnya.
“Anjany,” jawab gadis itu, sederhana.
Sejak saat itu, nama Anjany menetap di benak Thebaldus. Seperti ukiran di kayu, tak bisa dihapus.
Hari-hari berikutnya, Thebaldus mulai terbiasa singgah sebentar di beranda kosan itu. Duduk di anak tangga, mendengar Anjany bercerita tentang kampus, tentang dosen yang cerewet, tentang tugas yang menumpuk. Sesekali, mereka hanya diam, menatap senja yang tenggelam di balik bukit.
“Kalau aku boleh jujur,” kata Anjany suatu sore, “tempat paling nyaman buatku bukan rumahku, bukan kampusku, tapi di sini. Di kosan bambu ini. Karena ada kamu.”
Thebaldus menoleh, matanya lembut. “Kalau gitu, aku janji, Jan. Selama aku ada, kosan ini bakal selalu jadi pondok paling nyaman buat kamu.”
Angin sore meniup dedaunan flamboyan. Di Ruteng yang dingin, percakapan sederhana itu hangat, seperti selimut yang menutupi hati keduanya.
Dan di kosan bambu itulah, cinta mulai menemukan rumahnya.

Komentar
Posting Komentar