Dialog yang Jadi Puisi – Kisah Romantis Thebaldus & Anjany ala Dilan di Ruteng
Bab 3: Dialog-Dialog yang Menjadi Puisi.
Hari-hari berikutnya di Ruteng berjalan pelan, tapi selalu meninggalkan jejak. Setiap sore, Thebaldus singgah di kosan bambu. Awalnya hanya untuk menyapa, lalu lama-lama menjadi kebiasaan. Dan dari kebiasaan itu, lahirlah percakapan-percakapan yang indah—percakapan yang terdengar sederhana, tapi terasa seperti bait puisi.
Anjany punya kebiasaan menulis di buku catatannya. Tidak selalu tugas kuliah, kadang hanya kata-kata yang ia rangkai. Thebaldus sering penasaran.
“Jan, aku boleh baca tulisanmu nggak?” tanya Thebaldus sambil menunjuk buku yang selalu menemani Anjany.
Anjany menutup buku itu cepat-cepat. “Nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Karena ini bukan buat dibaca orang lain. Ini… kayak rahasia.”
Thebaldus tersenyum. “Kalau gitu, aku pengen jadi rahasiamu.”
Anjany terdiam, lalu menatapnya. Senyum kecil muncul di bibirnya. “Kamu kok kayak orang di novel, Baldus.”
“Emang kita ini bukan lagi novel, Jan? Novel yang sedang kita tulis berdua.”
Di bawah pohon flamboyan dekat kos, mereka sering duduk berdua. Langit Ruteng yang selalu berkabut membuat suasana semakin romantis. Thebaldus suka menggoda dengan kalimat-kalimat sederhana, tapi selalu berhasil membuat Anjany tersenyum.
“Jan, kamu tahu nggak? Kalau aku nggak kerja, aku bakal jadi penyair.”
“Oh ya? Penyair yang gajinya dibayar pakai apa?”
“Dibayar pakai senyummu.”
Anjany menunduk, wajahnya merah. “Dasar gombal.”
“Serius, Jan. Kalau kamu senyum, capekku hilang. Rasanya kayak habis minum kopi panas pas dingin-dinginnya Ruteng.”
Suatu sore, mereka berbincang di beranda kosan. Hujan turun pelan, mengetuk atap seng, menciptakan irama yang anehnya membuat percakapan lebih intim.
“Baldus, menurutmu cinta itu apa?” tanya Anjany tiba-tiba.
Thebaldus terdiam sebentar, lalu menjawab, “Cinta itu kayak hujan ini. Kadang deras, kadang gerimis. Tapi selalu turun, nggak pernah lupa.”
Anjany tersenyum. “Kalau buatku, cinta itu kayak Ranaka. Teguh, kokoh, dan nggak gampang runtuh.”
Thebaldus menatapnya lama. “Kalau gitu, aku janji, Jan. Aku mau jadi Ranaka buatmu.”
Anjany hanya diam, tapi hatinya bergetar. Kata-kata itu menancap dalam, seperti puisi yang tak akan pernah hilang.
Mereka berdua mungkin tak sadar, tapi setiap obrolan mereka adalah kisah. Setiap tawa adalah puisi, setiap tatapan adalah prosa, setiap janji adalah doa.
Kota Ruteng, dengan kabutnya, dengan dinginnya, menjadi halaman buku besar yang menuliskan cinta mereka. Dan setiap hari, bab-bab baru terus tercipta.

Komentar
Posting Komentar