Pasir Cepi Watu – Jejak Cinta Thebaldus & Anjany yang Tak Hilang

 Bab 5:

 Pasir Cepi Watu dan Jejak yang Hilang


Pantai Cepi Watu terbentang luas di sisi timur Ruteng. Garis pasir putihnya menyambut deburan ombak yang tak pernah lelah menepi. Dari pantai ini, matahari terbit tampak begitu dekat, seolah muncul dari balik samudra untuk menyapa siapa saja yang beruntung hadir di sana.


Bagi Thebaldus dan Anjany, Cepi Watu adalah tempat pelarian. Tempat untuk tertawa tanpa peduli dunia, tempat untuk berbicara tanpa takut dihakimi, tempat untuk diam bersama tanpa perlu kata.


Suatu pagi, mereka duduk di atas batu besar yang menjorok ke laut. Angin asin menampar lembut wajah mereka, suara ombak jadi musik latar paling sempurna.


“Jan, kamu tahu nggak?” tanya Thebaldus, matanya menatap laut.


“Apa?”


“Kalau ombak ini nggak pernah capek datang, aku juga nggak bakal capek cinta sama kamu.”


Anjany tertawa kecil, menunduk. “Kenapa sih kamu selalu bisa bikin kata-kata kayak gitu?”


“Karena kamu inspirasinya,” jawab Thebaldus cepat.


Anjany turun ke pasir, lalu mengambil ranting kecil. Ia menuliskan nama mereka:

“Thebaldus ♥ Anjany”


Tulisan itu memanjang di atas pasir putih. Ia menatapnya dengan puas, seakan itu adalah tanda abadi cinta mereka.


“Lihat, Baldus. Nama kita ada di sini. Abadi.”


Thebaldus melangkah mendekat. Ia hanya tersenyum, lalu berkata, “Tapi ombak bakal hapus itu sebentar lagi.”


“Terus kenapa kamu biarin?”


“Karena biar pun ombak hapus di pasir, nggak ada yang bisa hapus dari hatiku.”


Anjany terdiam. Kalimat itu sederhana, tapi menusuk tepat di jantungnya.


Beberapa menit kemudian, benar saja. Ombak datang, menghantam bibir pantai, dan tulisan itu hilang tak bersisa. Hanya pasir basah yang tersisa, seolah tak pernah ada nama mereka di sana.


“Kamu benar,” bisik Anjany. “Semua bisa hilang kalau cuma ditulis di pasir.”


Thebaldus menatap wajahnya. “Makanya aku nulis di hati. Dan hati itu nggak bisa dihapus ombak, Jan.”


Hari semakin siang. Mereka berjalan menyusuri pantai, sesekali bercanda, sesekali hanya diam menikmati suara laut. Di tengah langkah mereka, Anjany menggenggam tangan Thebaldus.


"Baldus, aku takut…” suaranya lirih.


“Takut apa?”


“Takut suatu hari kamu pergi, terus jejak kita hilang kayak tulisan tadi.”


Thebaldus menghentikan langkahnya. Ia menatap mata Anjany dengan serius.


“Kalau aku pergi, aku akan kembali. Dan kalau jejak kita hilang, aku akan tulis lagi. Berkali-kali. Sampai dunia capek ngeliat nama kita.”


Anjany tersenyum tipis. Angin laut berhembus, membelai mereka, seolah ikut menyimpan janji itu di antara riak ombak.


Cepi Watu menjadi saksi. Jejak di pasir memang hilang, tapi janji yang lahir di sana tetap tinggal.


Dan dalam hati keduanya, ada keyakinan bahwa cinta mereka akan lebih kuat dari ombak yang menghapus apa saja.



NEXT PART 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Inosentius Samsul: 35 Tahun di DPR Hingga Jadi Hakim Mahkamah Konstitusi

PPPK Paruh Waktu Diangkat Menjadi Penuh Waktu: Desakan DPR dan DPD RI ke Pemerintah untuk Segera Bertindak

Permata Tersembunyi di Manggarai Barat: Menjelajahi Air Terjun Cunca Polo

Cara Cek PKH dan PIP 2025 Lewat HP: Panduan Lengkap, Mudah, dan Resmi

Tenaga Kerja Asal Bajawa Diduga Disiksa di Sebuah Yayasan di Bogor, Dibebaskan NTT Bogor Raya