Cinta yang Tumbuh di Kota Berkabut dan Berakhir di Terminal Perpisahan
Ada yang bahagia, ada yang patah, ada pula yang berakhir di perpisahan.
Di sebuah kota kecil di bawah kaki gunung, cinta tumbuh begitu sederhana. Dua insan saling menaruh hati, saling menepati janji, dan percaya bahwa kebersamaan bisa bertahan selamanya. Mereka bahagia dengan hal-hal kecil: duduk di bilik bambu, makan sepiring rendang berdua, atau sekadar bercanda di tepi danau.
Namun, hidup selalu punya cara untuk menguji cinta.
Jarak tiba-tiba hadir, memisahkan keduanya. Janji-janji yang dulu terucap di senja indah, kini harus diuji oleh ruang dan waktu. Telepon panjang tak lagi cukup, pesan-pesan mulai dingin, dan cinta perlahan digerus oleh prasangka.
Terminal kecil pun menjadi saksi.
Di sana, perpisahan bukan sekadar kata selamat tinggal, tapi air mata yang jatuh, pelukan yang terasa singkat, dan harapan yang tak pasti.
Awalnya mereka percaya, jarak tak akan memisahkan hati. Tapi kenyataannya, cinta bukan hanya tentang bertahan, melainkan juga tentang kepercayaan. Dan ketika kepercayaan itu runtuh, cinta berubah jadi luka.
Sampai akhirnya hanya ada satu kalimat lirih yang tersisa:
“Biarkan aku yang menahan rasa ini,
asalkan kamu bahagia dengan pilihanmu.”
Kalimat yang sederhana, tapi cukup untuk meremukkan hati siapa saja yang pernah mencintai dengan tulus.
Namun, kisah ini terlalu panjang untuk dituliskan dalam satu halaman.
Ia tersusun dalam 20 bab penuh emosi: dari awal pertemuan, janji di bawah kabut kota kecil, perjalanan jarak jauh, hingga perpisahan di terminal dengan air mata.
Setiap bab menyimpan bagian berbeda dari cinta yang tak sempurna ini—kadang manis, kadang getir, kadang membuatmu tersenyum, kadang membuatmu menitikkan air mata.
Jika kamu ingin mengetahui seluruh perjalanan cinta mereka, aku sudah menuliskannya lengkap.
Klik tautan berikut untuk membaca Daftar Isi Kisah Lengkapnya:
Komentar
Posting Komentar