Dalam Kasih dan Kesederhanaan: Mengenang Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap (1934–2025)



Uskup yang Mengabdikan Hidupnya untuk Pelayanan dan Persaudaraan

Gereja Katolik Indonesia kembali kehilangan salah satu gembala terbaiknya.
Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap, Uskup Emeritus Keuskupan Agung Medan, berpulang dengan tenang pada Jumat, 17 Oktober 2025 pukul 09.13 WIB di Rumah Sakit St. Elisabeth Medan, pada usia 91 tahun.
Kabar duka ini disampaikan secara resmi oleh Keuskupan Agung Medan, dan segera menyebar di berbagai kalangan umat Katolik di seluruh Indonesia.

Mgr. Pius dikenal luas sebagai sosok gembala yang sederhana, bijaksana, dan penuh kasih.
Selama lebih dari tiga dekade memimpin Keuskupan Agung Medan, beliau menjadi simbol perdamaian dan jembatan persaudaraan lintas agama di Tanah Batak dan Sumatera Utara.


Perjalanan Hidup

Masa Muda dan Panggilan Hidup

Sejak kecil, ia dikenal sebagai pribadi yang tekun, rendah hati, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi.
Perjalanan imannya dimulai ketika ia bergabung dengan Ordo Kapusin (OFMCap) — sebuah tarekat religius yang meneladani semangat Santo Fransiskus dari Assisi dalam hidup sederhana dan penuh kasih terhadap sesama.

Pada 8 Februari 1964, ia ditahbiskan menjadi imam di tengah semangat pelayanan yang membara.
Sebagai imam muda, Pius dikenal karena kesetiaannya mendampingi umat di daerah terpencil, berjalan kaki berjam-jam ke pelosok untuk merayakan Misa dan mendengarkan keluh kesah umat kecil.


Diangkat sebagai Uskup Pertama dari Suku Batak

Tahun 1976 menjadi tonggak penting dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia.
Paus Paulus VI menunjuk Rm. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap, sebagai Uskup Agung Medan, menggantikan Mgr. Antoine Hubert Thijssen, OFMCap.
Penunjukan ini menjadikannya Uskup pertama dari suku Batak, sebuah momentum bersejarah bagi Gereja lokal.

Pelantikannya menandai awal dari perjalanan panjang sebagai gembala umat.
Dalam pelayanannya, Mgr. Pius menekankan tiga nilai utama: iman, kasih, dan persaudaraan.
Ia dikenal sebagai sosok yang lebih memilih berjalan di tengah umat daripada duduk di kursi kehormatan.


Kepemimpinan yang Penuh Kasih dan Kerendahan Hati

Selama lebih dari tiga dekade, Mgr. Pius memimpin dengan pendekatan pastoral yang humanis.
Ia kerap turun langsung ke paroki-paroki kecil di pedalaman, mengunjungi sekolah-sekolah Katolik, rumah sakit, dan biara.
Ia percaya bahwa kehadiran seorang gembala harus terasa nyata di tengah umatnya.

Dalam banyak homili dan tulisan, beliau menegaskan pesan sederhana namun mendalam:

“Iman tanpa kasih adalah hampa.”

Di tengah keragaman budaya dan keyakinan di Sumatera Utara, beliau menjadi jembatan dialog antaragama.
Ia bersahabat dengan para pemuka agama Islam, Protestan, dan Budha, serta sering hadir dalam forum lintas iman.
Semangat persaudaraan ini membuatnya dihormati tidak hanya oleh umat Katolik, tetapi juga oleh masyarakat luas.


Teladan Hidup dalam Kesederhanaan

Mgr. Pius hidup dalam kesederhanaan sejati.
Ia tidak pernah mengejar kemewahan atau kehormatan duniawi.
Kamar tidurnya di rumah keuskupan sederhana: hanya meja, rosario, dan beberapa buku doa.
Setiap pagi, ia dikenal berjalan di taman sambil berdoa, lalu menyapa para karyawan dengan senyum khasnya.

“Pelayanan adalah bentuk kasih yang paling murni,” katanya suatu ketika dalam wawancara bersama Hidup Katolik (2008).

Kesederhanaan dan ketulusannya membuat banyak imam muda menjadikannya teladan.

Bahkan setelah pensiun, beliau tetap aktif memberikan bimbingan rohani dan mendampingi para calon imam di seminari Medan.


Masa Pensiun dan Warisan Spiritualitas

Pada 12 Februari 2009, setelah lebih dari 30 tahun mengabdi, Mgr. Pius resmi memasuki masa pensiun sebagai Uskup Emeritus.
Namun semangat pelayanannya tak pernah padam.
Ia tetap hadir dalam berbagai kegiatan keuskupan, menjadi penasihat rohani, dan membimbing generasi baru imam Kapusin.

Walau kesehatannya menurun dalam beberapa tahun terakhir, beliau tetap setia mengikuti perayaan Ekaristi setiap hari.
Doanya yang sederhana namun penuh makna menjadi kekuatan bagi banyak umat.

Ketika berpulang, banyak umat menggambarkan kepergian beliau bukan sebagai akhir, tetapi kembali ke rumah Bapa dalam damai.


Reaksi dan Ucapan Duka dari Umat dan Tokoh Gereja

Kabar meninggalnya Mgr. Pius segera menyebar luas melalui media sosial dan situs resmi keuskupan.
Ribuan ucapan duka mengalir dari umat, para imam, hingga tokoh lintas agama.

Mgr. Kornelius Sipayung, OFMCap, Uskup Agung Medan saat ini, menyampaikan:

Beliau adalah gembala sejati, penuh kasih, dan menjadi teladan iman bagi kami semua. Kami bersyukur atas hidup dan pelayanan beliau.”


Rangkaian Perayaan dan Penghormatan

Jenazah beliau disemayamkan di Katedral Santa Maria Tak Bernoda, Medan,
dengan rangkaian Misa Requiem yang dihadiri oleh ribuan umat, para biarawan-biarawati, dan perwakilan lintas agama.

Suasana penuh haru, namun juga syukur.
Syukur atas hidup panjang seorang gembala yang telah mempersembahkan segalanya untuk Tuhan dan umat-Nya.


Warisan Abadi Seorang Gembala

Lebih dari sekadar pemimpin gereja, Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara meninggalkan warisan spiritual yang abadi: kasih, kerendahan hati, dan ketulusan.

Ia menunjukkan bahwa pelayanan bukan soal jabatan, melainkan panggilan untuk melayani dengan hati.

Pesan-pesannya tentang kasih, perdamaian, dan kesederhanaan akan terus hidup di hati umat Katolik di seluruh Indonesia.

 “Engkau telah berjuang dalam iman kini mahkota kemuliaan menantimu di surga.”


Biografi Lengkap Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap


Awal Kehidupan dan Panggilan Imamat

Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap, lahir pada 12 Februari 1934 di Lawe Bekung, sebuah desa kecil di Kabupaten Aceh Tenggara, yang kini termasuk wilayah Keuskupan Agung Medan. Ia berasal dari keluarga sederhana yang menanamkan nilai iman Katolik yang kuat sejak masa kecil.


Dari lingkungan pedesaan yang tenang, Pius kecil sudah menunjukkan ketertarikan yang mendalam terhadap kehidupan rohani. Ia dikenal sebagai anak yang tenang, tekun, dan memiliki kepekaan sosial tinggi terhadap sesama. Sejak usia belia, ia sering membantu pastor paroki dan aktif dalam kegiatan Gereja lokal.


Panggilannya untuk menjadi imam muncul sejak masa remaja. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, ia melanjutkan ke Seminari Menengah Pematangsiantar, tempat banyak calon imam muda dari berbagai daerah di Sumatera menempuh pendidikan. Di sana, ia semakin menguatkan niatnya untuk mengabdikan diri sepenuhnya bagi Tuhan dan umat.

Menjadi Imam Ordo Kapusin

Pada usia 30 tahun, tepatnya 22 Februari 1964, Alfred Gonti Pius ditahbiskan menjadi imam dari Ordo Saudara Dina Kapusin (OFMCap), sebuah tarekat religius Katolik yang meneladani semangat Santo Fransiskus dari Assisi — hidup dalam kesederhanaan, pelayanan bagi kaum kecil, dan kasih universal kepada seluruh ciptaan.


Sebagai imam muda Kapusin, ia dikenal sebagai pribadi yang rendah hati dan disiplin. Ia sering memilih untuk hidup dekat dengan rakyat kecil, berkeliling dari satu stasi ke stasi di pedalaman Sumatera Utara, melayani umat yang jauh dari pusat kota.


Selama masa tugas awalnya, Pius juga dikenal sebagai pengajar yang bijak. Ia menekankan pentingnya iman yang diwujudkan dalam tindakan, bukan sekadar dalam kata-kata. Bagi banyak umat yang mengenalnya, sosok Pius bukan hanya imam, tetapi juga sahabat yang selalu hadir dalam suka maupun duka.

Diangkat Menjadi Uskup Auksilier

Pada 5 April 1975, Paus Paulus VI mengangkat Pastor Alfred Gonti Pius Datubara menjadi Uskup Auksilier Keuskupan Agung Medan dengan gelar Tituler Uskup Novi. Tahbisan episkopalnya berlangsung pada 29 Juni 1975, dengan konsekrator utama Kardinal Justinus Darmojuwono, Uskup Agung Semarang saat itu.


Tahbisan ini menjadi tonggak penting, bukan hanya bagi Pius pribadi, tetapi juga bagi umat Katolik di Sumatera. Ia menjadi simbol keterbukaan Gereja terhadap putra-putra daerah yang berkomitmen kuat terhadap pelayanan.

Menjadi Uskup Agung Medan

Setahun kemudian, pada 24 Mei 1976, ia resmi diangkat menjadi Uskup Agung Medan, menggantikan Mgr. Antoine Henri van den Hurk, OFMCap.

Dengan pengangkatan ini, Mgr. Pius Datubara tercatat sebagai Uskup pertama dari suku Batak yang memimpin Keuskupan Agung Medan — sebuah pencapaian bersejarah dalam Gereja Katolik Indonesia.

Di bawah kepemimpinannya, Keuskupan Agung Medan berkembang pesat, baik dalam hal jumlah umat, karya pastoral, maupun pembinaan imam dan biarawan. Ia berfokus pada tiga hal utama:


1. Pendidikan dan pembinaan iman umat, melalui pendirian sekolah-sekolah Katolik dan pelatihan pastoral.

2. Dialog lintas agama, khususnya antara umat Katolik dan Islam di Sumatera Utara.

3. Pelayanan sosial, dengan mendirikan berbagai karya karitatif seperti panti asuhan, pusat kesehatan, dan lembaga pemberdayaan masyarakat.


Mgr. Pius percaya bahwa tugas utama seorang uskup bukan hanya mengajar, tetapi juga menjadi “bapa bagi semua” — terutama bagi mereka yang miskin dan terlupakan.

Gaya Kepemimpinan dan Spiritualitas

Sebagai seorang gembala, Mgr. Pius dikenal sangat sederhana. Ia menolak kemewahan dan lebih suka tinggal di tempat yang bersahaja. Mobil dinasnya jarang berganti, dan ia sering berjalan kaki saat mengunjungi umat di wilayah terpencil.

Salah satu kutipan khasnya yang sering diingat para imam muda adalah:

 “Iman tanpa kasih adalah hampa. Tugas kita bukan untuk menjadi besar, tapi untuk membuat kasih Allah terasa nyata.”


Mgr. Pius juga memiliki perhatian besar terhadap persatuan umat lintas suku dan agama. Dalam masa jabatannya, ia sering menjadi penengah dalam ketegangan sosial dan selalu menyerukan perdamaian. Banyak tokoh lintas agama di Medan mengenangnya sebagai figur penyejuk dan sahabat yang rendah hati.

Karya dan Warisan Pelayanan

Di bawah bimbingan Mgr. Pius, Keuskupan Agung Medan melahirkan banyak imam, biarawan, dan biarawati baru. Ia turut mendorong berdirinya beberapa paroki baru di daerah pedalaman, dan memperkuat jaringan pendidikan Katolik, terutama sekolah-sekolah yang dikelola oleh Kongregasi lokal.


Selain itu, Mgr. Pius juga aktif dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), khususnya dalam bidang liturgi dan dialog antarumat beragama. Ia sering diundang untuk berbicara di forum nasional tentang pentingnya toleransi dan cinta damai di tengah keberagaman bangsa.


Buku Omnibus Omnia: Biografi Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap yang diterbitkan oleh Bina Media Perintis (2008), menjadi dokumentasi penting atas jejak hidup dan spiritualitasnya. Buku ini menyoroti dedikasinya sebagai “gembala yang tidak kenal lelah”, bahkan di usia senja.

Masa Pensiun dan Kehidupan Sebagai Uskup Emeritus


Pada 12 Februari 2009, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-75, Paus Benediktus XVI menerima pengunduran dirinya dari jabatan Uskup Agung Medan. Sejak saat itu, ia menyandang gelar Uskup Emeritus.


Meskipun telah pensiun, Mgr. Pius tidak berhenti berkarya. Ia tetap aktif memimpin retret rohani, menulis refleksi iman, dan memberikan pembinaan bagi para imam muda.

Ia dikenal sering mengatakan:

“Saya memang tidak lagi memimpin keuskupan, tapi saya tetap melayani Gereja dengan doa.”

Akhir Hidup dan Wafatnya Sang Gembala

Pada Jumat, 17 Oktober 2025, pukul 09.13 WIB, Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara berpulang dengan tenang di Rumah Sakit St. Elisabeth Medan, pada usia 91 tahun.


Kabar duka ini langsung menggema di seluruh Indonesia. Umat Katolik, para imam, biarawan-biarawati, dan masyarakat lintas agama menyampaikan doa dan penghormatan terakhir bagi sosok yang telah menjadi teladan iman dan kasih.


Jenazah beliau disemayamkan di Katedral Santa Maria Tak Bernoda Medan, tempat ribuan umat datang untuk memberikan penghormatan. Suasana duka bercampur rasa syukur atas kehidupan panjang yang telah beliau persembahkan sepenuhnya bagi Tuhan dan umat-Nya.


Dalam misa requiem, banyak umat mengenang beliau sebagai “gembala berhati Fransiskan” — sederhana, tulus, dan penuh kasih.

Warisan Rohani yang Tak Terhapuskan


Kepergian Mgr. Pius meninggalkan jejak yang dalam. Ia bukan hanya seorang uskup, tetapi seorang pelayan sejati yang hidup dalam kesetiaan terhadap Injil.


Warisan terbesar beliau bukan pada gedung atau lembaga, melainkan teladan hidupnya: kesederhanaan, kedamaian, dan cinta kasih tanpa batas.

Dalam doa dan kenangan umat, namanya akan terus hidup sebagai gembala yang setia hingga akhir.





Sumber 

1. Keuskupan Agung Medan – “Profil Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap.” archdioceseofmedan.or.id

2. Wikipedia Bahasa Indonesia & Inggris – “Alfred Gonti Pius Datubara.” id.wikipedia.org

3. Bina Media Perintis (2008) – Omnibus Omnia: Biografi Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap.

4. KWI Official – Dokumentasi internal Konferensi Waligereja Indonesia, bidang Komunikasi Sosial dan Lintas Agama.

5. Keuskupan Agung Medan — Pernyataan resmi melalui situs archdioceseofmedan.or.id (Oktober 2025).




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Inosentius Samsul: 35 Tahun di DPR Hingga Jadi Hakim Mahkamah Konstitusi

PPPK Paruh Waktu Diangkat Menjadi Penuh Waktu: Desakan DPR dan DPD RI ke Pemerintah untuk Segera Bertindak

Permata Tersembunyi di Manggarai Barat: Menjelajahi Air Terjun Cunca Polo

Cara Cek PKH dan PIP 2025 Lewat HP: Panduan Lengkap, Mudah, dan Resmi

Tenaga Kerja Asal Bajawa Diduga Disiksa di Sebuah Yayasan di Bogor, Dibebaskan NTT Bogor Raya