Menumpang di Tanah Sendiri: Ironi Rakyat Komodo di Mata Negara



Di ujung barat Pulau Flores, berdiri sebuah desa yang namanya kini dikenal dunia: Desa Komodo. Di sanalah masyarakat hidup berdampingan dengan satwa purba yang menjadi ikon Indonesia - komodo. Namun di balik popularitas itu, muncul sebuah pernyataan pejabat daerah yang mengguncang rasa keadilan publik: “Mereka tinggal menumpang di tanah negara.”
Pernyataan tersebut datang dari Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Manggarai Barat, Maria Yuliana Rotok, yang dikutip oleh Florespos.net (2025). Ia menegaskan bahwa penduduk di tiga desa dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) tidak dikenai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) karena dianggap tinggal di atas tanah negara.


Namun, sebuah bukti pembayaran resmi PBB kolektif tahun 2025 untuk Desa Komodo, yang beredar melalui dokumen publik Facebook (September 2025), menunjukkan fakta berbeda. Surat Tanda Setoran Pajak Daerah itu tercatat atas nama kolektor Karim, dengan total pembayaran sebesar Rp 3.588.000, sah dan distempel resmi Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.

Artinya, warga yang disebut “menumpang” ternyata menjalankan kewajiban fiskal kepada negara.

Catatan Sejarah: Siapa yang Lebih Dulu Datang?


Sejarah mencatat bahwa keberadaan masyarakat di Pulau Komodo jauh mendahului pembentukan Taman Nasional Komodo. Berdasarkan arsip kolonial yang disampaikan dalam berbagai studi sejarah (Sumber: Catatan Sejarah, 2025), pada 1910-an, pemerintah  kolonial Belanda sudah mencatat adanya permukiman dan aktivitas masyarakat di Pulau Komodo.
Pada tahun 1926, peneliti Belanda Peter A. Ouwens mendeskripsikan secara ilmiah Varanus komodoensis dan sekaligus mengakui adanya komunitas lokal yang hidup berdampingan dengan satwa itu.
Lalu pada 1950–1960-an, Desa Komodo mulai dikenal sebagai kampung nelayan kecil dengan rumah panggung dan kehidupan yang berpusat di laut.


Ketika negara Indonesia baru berdiri pada 1945, masyarakat Komodo telah lebih dulu menetap di tanah itu, membangun kehidupan dari laut dan menjaga keseimbangan alam. Baru pada tahun 1980, pemerintah menetapkan kawasan tersebut sebagai Taman Nasional Komodo (TNK) melalui keputusan resmi yang menandai perubahan besar terhadap status tanah dan hak masyarakat di dalamnya.


Dengan demikian, ketika pejabat menyebut bahwa mereka menumpang di tanah negara, pertanyaan kritis muncul: sejak kapan negara ini memiliki tanah yang telah lebih dulu dihuni rakyatnya?

Negara, Pajak, dan Hak Atas Tanah


Menurut Florespos.net (2025), Kepala Bapenda Mabar menyatakan bahwa tanah di dalam TNK adalah milik negara dan karena itu tidak dapat dikenai PBB. Namun pada praktiknya, dokumen pembayaran PBB Desa Komodo 2025 membuktikan bahwa pungutan tetap dilakukan, bahkan dengan sistem kolektif yang melibatkan ratusan Nomor Objek Pajak (NOP).

Sistem ini menunjukkan dua hal: pertama, negara secara fiskal tetap mengakui keberadaan masyarakat; kedua, negara secara hukum belum memberi kejelasan tentang status hak mereka.


Dalam konteks hukum agraria, pernyataan “tanah negara” memiliki implikasi besar. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, semua tanah di Indonesia dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat, bukan dimiliki secara absolut oleh negara. Pasal 2 UUPA menjelaskan bahwa negara bertugas mengatur, bukan memiliki.
Lebih jauh lagi, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Maka, ketika rakyat sudah hidup, bekerja, dan membayar pajak di atas tanah itu, tidak sepatutnya mereka disebut “menumpang”.

Antara Administrasi dan Rasa Keadilan

Foto Postingan FB : Akbar Al Ayyub 


Secara administratif, status Taman Nasional Komodo memang ditetapkan sebagai kawasan konservasi dengan pengelolaan langsung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun kehidupan sosial masyarakat di dalamnya tidak bisa dihapus hanya karena garis batas peta.
Sebagaimana diungkapkan oleh Camat Komodo, Iwan Martinus, dalam wawancara dengan Florespos.net (2025), “penduduk di tiga desa dalam kawasan TNK tidak dikenai PBB karena tinggal di tanah negara.” Tetapi pernyataan ini bertentangan dengan fakta lapangan yang menunjukkan adanya pembayaran pajak kolektif.


Dalam dokumen yang beredar, tercatat ID Group 66D20C04-9857-11F0-AD32-000C29C4F294 atas nama Desa Komodo 23 Sept 2025, dengan total pembayaran Rp 3.588.000 dan status final. Bukti ini menunjukkan kesadaran warga dalam menjalankan kewajiban fiskal.


Mereka tidak meminta pengakuan politik, hanya kejelasan moral: apakah negara benar-benar melihat mereka sebagai bagian dari republik ini, atau sekadar penjaga sementara untuk sebuah taman yang dijadikan simbol pariwisata dunia.

Hak Ulayat dan Identitas Masyarakat Komodo


Istilah “menumpang” menjadi ironi tersendiri jika dikaitkan dengan konsep hak ulayat dalam hukum adat. Hak ulayat merupakan hak kolektif masyarakat adat atas wilayahnya, termasuk tanah, air, dan sumber daya alam.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, MK menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, melainkan milik masyarakat adat. Prinsip yang sama secara moral juga berlaku pada masyarakat Komodo yang telah tinggal di tanah itu jauh sebelum konsep taman nasional diperkenalkan.

Rakyat Komodo tidak pernah mengklaim hak milik pribadi; mereka hanya menuntut pengakuan bahwa tanah yang mereka jaga adalah bagian dari identitas mereka. Mereka menjaga komodo bukan karena regulasi, melainkan karena tradisi.

Negara Datang Belakangan


Sejarah nasional sering ditulis dari sudut pandang kekuasaan, bukan dari suara rakyat. Dalam konteks Komodo, negara datang setelah masyarakat lebih dulu hidup di sana.

Ketika kawasan itu ditetapkan sebagai taman nasional pada 1980, tidak ada mekanisme yang jelas untuk menegosiasikan hak-hak warga lokal. Mereka tiba-tiba berada di dalam kawasan konservasi tanpa pernah memindahkan rumah.


Kini, empat dekade kemudian, muncul lagi pernyataan bahwa mereka hanya menumpang. Padahal, generasi demi generasi telah membayar pajak, membangun sekolah, membangun dermaga, dan bahkan menjaga keseimbangan ekosistem yang kini menjadi aset pariwisata nasional.

Pajak dan Pengakuan


Pajak adalah simbol pengakuan negara terhadap keberadaan warganya. Ketika warga membayar PBB, negara mengakui bahwa ada aktivitas ekonomi dan sosial yang sah di wilayah itu.

Maka ketika pemerintah menerima pembayaran PBB dari Desa Komodo, secara otomatis negara telah mengakui eksistensi mereka.


Hal ini menimbulkan pertanyaan moral dan administratif: jika tanah itu sepenuhnya milik negara, mengapa negara menerima pajak dari masyarakat yang tinggal di atasnya?

Jawabannya tidak sederhana, tapi jelas menunjukkan adanya kekacauan dalam logika kebijakan publik di daerah konservasi.


Sebagaimana dijelaskan dalam laporan Florespos.net (2025), masyarakat Desa Komodo, Papagarang, dan Pasir Panjang semuanya berada di dalam kawasan TNK, namun tetap menjalankan kewajiban fiskal seperti warga lain di luar kawasan.

Ketika Negara Lupa pada Sejarah


Pernyataan “menumpang di tanah negara” menunjukkan betapa lemahnya kesadaran sejarah dalam birokrasi. Masyarakat Komodo sudah hidup di tanah itu sejak awal abad ke-20.
Mereka adalah saksi hidup dari sejarah panjang yang bahkan mendahului kemerdekaan Indonesia.
Namun dalam pandangan administratif, mereka seolah hanya menjadi “penghuni tanpa hak.”

Padahal, dalam pandangan sejarah, masyarakat Komodo justru adalah subjek utama yang menjaga tanah, laut, dan habitat komodo dari generasi ke generasi. Mereka bukan ancaman terhadap konservasi; mereka bagian dari ekosistem itu sendiri.

Refleksi: Antara Konservasi dan Kemanusiaan


Taman Nasional Komodo adalah kebanggaan dunia. Tetapi kebanggaan itu kehilangan makna ketika rakyat yang hidup di dalamnya merasa dipinggirkan.

Konservasi seharusnya menjadi jalan untuk menjaga keseimbangan antara alam dan manusia, bukan memisahkan keduanya.


Pemerintah harus berani merevisi cara pandang terhadap masyarakat lokal di kawasan konservasi. Pengakuan terhadap hak tinggal, hak ekonomi, dan hak sosial masyarakat Komodo bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal martabat kemanusiaan.


Mereka tidak menuntut tanah, mereka menuntut diakui sebagai warga negara yang sah warga yang membayar pajak, menjaga alam, dan mencintai tanah air.

Kesimpulan


Ironi terbesar dari pernyataan “menumpang di tanah negara” adalah bahwa rakyatlah yang sebenarnya menopang negara.

Tanpa rakyat, tidak ada pajak. Tanpa pajak, tidak ada pembangunan. Tanpa pembangunan, tidak ada negara.


Komodo mungkin hanya sebuah pulau kecil, tapi ia mencerminkan pertarungan besar antara kekuasaan administratif dan kebenaran moral.

Negara boleh menguasai tanah, tapi rakyatlah yang memberi arti pada tanah itu.


Selama mereka masih membayar pajak, menjaga lingkungan, dan menghormati leluhur mereka, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menyebut mereka “menumpang.”

Mereka adalah pemilik moral dari tanah itu — pemilik yang tidak butuh sertifikat untuk membuktikan cinta mereka kepada bumi tempat mereka berpijak.


-
(Refrensi: Florespos.net, Oktober 2025; Dokumen Pembayaran PBB Desa Komodo 2025; Dokumen Publik Facebook, September 2025)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Inosentius Samsul: 35 Tahun di DPR Hingga Jadi Hakim Mahkamah Konstitusi

PPPK Paruh Waktu Diangkat Menjadi Penuh Waktu: Desakan DPR dan DPD RI ke Pemerintah untuk Segera Bertindak

Permata Tersembunyi di Manggarai Barat: Menjelajahi Air Terjun Cunca Polo

Cara Cek PKH dan PIP 2025 Lewat HP: Panduan Lengkap, Mudah, dan Resmi

Tenaga Kerja Asal Bajawa Diduga Disiksa di Sebuah Yayasan di Bogor, Dibebaskan NTT Bogor Raya