Pondok Bilik Bambu – Tempat Ternyaman Cinta Thebaldus & Anjany

Bab 8:
Pondok Bilik Bambu – Tempat Ternyaman



Pondok itu sederhana. Dindingnya dari bilik bambu, atapnya seng yang berderak tiap kali hujan turun, dan lantainya semen kasar. Tidak ada kemewahan. Bahkan, suara dari kamar sebelah kadang terdengar jelas, karena sekat antar kamar hanyalah anyaman bambu tipis.


Namun bagi Thebaldus dan Anjany, pondok bambu itu adalah istana. Di sanalah mereka bisa berbagi cerita tanpa gangguan, tertawa hingga lupa waktu, bahkan menangis tanpa takut dihakimi. Tempat kecil itu menjadi saksi bagaimana cinta mereka tumbuh, berkembang, dan menemukan rumahnya.


Suatu malam, hujan deras turun. Air menetes dari sela-sela atap seng, menimbulkan suara ritmis yang seakan mengiringi obrolan mereka. Thebaldus duduk bersila di lantai, sementara Anjany bersandar di kasur tipis dengan bantal kecil di pangkuannya.


 “Jan, kamu nggak keberatan tinggal di tempat sesederhana ini?” tanya Thebaldus sambil menatap sekeliling.


Anjany tersenyum. “Kenapa harus keberatan?”


“Soalnya… nggak semua orang bisa nyaman di kos kayak gini. Apalagi kamu cewek.”


“Baldus, aku nggak butuh tembok mewah buat bahagia. Aku butuh kamu. Dan kalau kamu ada di sini, pondok ini jadi lebih nyaman daripada rumah mana pun.”


Thebaldus terdiam. Kata-kata itu menusuk hatinya dalam-dalam. Ia tahu, Anjany benar-benar tulus.


Malam-malam di pondok bambu itu selalu penuh cerita. Kadang mereka bercanda soal hal-hal remeh, kadang mereka berbicara serius tentang masa depan.


 “Kalau nanti kita nikah, kamu maunya rumah kayak apa?” tanya Anjany suatu malam.


Thebaldus berpikir sebentar, lalu menjawab, “Rumah kecil aja. Yang penting ada halaman buat kamu nanam bunga.”


“Kenapa bunga?”


“Karena kamu kayak bunga. Harus selalu dirawat, biar tetap indah.”


Anjany tertawa, wajahnya memerah. “Gombal terus kamu, Baldus.”


Kadang, pondok itu menjadi tempat mereka merajut mimpi. Thebaldus bercerita tentang keinginannya punya usaha sendiri suatu hari nanti, sementara Anjany mengungkapkan cita-citanya menjadi dosen setelah lulus.


“Jan, kamu tahu nggak? Kalau aku lagi capek kerja, aku selalu bayangin duduk di sini sama kamu. Itu bikin aku kuat.”


Anjany menatapnya lembut. “Aku juga gitu. Kalau aku lagi stres belajar, aku bayangin kamu duduk di depan aku, terus bilang ‘kamu pasti bisa.’ Itu bikin aku semangat.”


Pondok bambu itu juga tempat mereka belajar menerima kekurangan satu sama lain. Thebaldus yang keras kepala, Anjany yang kadang terlalu sensitif—semua itu mereka hadapi bersama. Dan di sanalah, cinta mereka diuji.


Namun di balik semua perbedaan, pondok itu selalu berhasil menjadi tempat pulang. Tidak peduli seberapa lelah hari, mereka selalu merasa damai ketika duduk berdampingan di lantai bambu yang dingin.


Suatu malam, ketika lampu minyak kecil menjadi satu-satunya penerang, Anjany bersandar di bahu Thebaldus. Hening. Hanya suara hujan dan desau angin yang terdengar.


“Baldus,” bisik Anjany, “kalau aku boleh pilih, aku nggak mau pondok ini hilang dari hidup kita.”


Thebaldus mengecup keningnya pelan. “Selama aku ada, pondok ini nggak akan pernah hilang. Karena pondok ini bukan bangunan, tapi kamu. Kamu rumahku.”



Dan begitulah, pondok bambu sederhana itu menjadi istana paling megah bagi mereka. Bukan karena bangunannya, melainkan karena hati mereka saling menemukan rumah di dalamnya.



NEXT PART 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Inosentius Samsul: 35 Tahun di DPR Hingga Jadi Hakim Mahkamah Konstitusi

PPPK Paruh Waktu Diangkat Menjadi Penuh Waktu: Desakan DPR dan DPD RI ke Pemerintah untuk Segera Bertindak

Permata Tersembunyi di Manggarai Barat: Menjelajahi Air Terjun Cunca Polo

Cara Cek PKH dan PIP 2025 Lewat HP: Panduan Lengkap, Mudah, dan Resmi

Tenaga Kerja Asal Bajawa Diduga Disiksa di Sebuah Yayasan di Bogor, Dibebaskan NTT Bogor Raya