Eks Kapolres Ngada Divonis 19 Tahun Penjara, Terbukti Cabuli Tiga Anak dan Unggah Video ke Situs Luar Negeri

Eks Kapolres Ngada Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja dan terdakwa Stefani Rehi Doko alias Fani saat menjalani sidang putusan di PN Kelas IA Kupang, NTT, Selasa (21/10/2025). (Sumber foto: Detikcom)

Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) , Kasus hukum yang mengguncang institusi kepolisian di Indonesia akhirnya mencapai titik akhir. Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, dijatuhi vonis 19 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kupang, pada Selasa (21 Oktober 2025).

Dalam sidang pembacaan amar putusan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim A.A. Gede Agung Parnata, terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap tiga anak perempuan di bawah umur.

Vonis ini lebih ringan satu tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya meminta hukuman 20 tahun penjara serta denda miliaran rupiah.


Kronologi Kasus Eks Kapolres Ngada

Kasus ini berawal dari laporan masyarakat dan koordinasi antara Polisi Federal Australia (AFP) dan Polri, setelah ditemukan konten video eksploitasi seksual anak yang diunggah melalui situs gelap (dark web) yang berlokasi di server Australia.

Setelah dilakukan penelusuran digital, jejak unggahan itu mengarah ke seorang perwira polisi Indonesia. Hasil penyelidikan lintas negara mengungkap identitasnya: AKBP Fajar Widyadharma, yang saat itu masih menjabat Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur.

Laporan dari BBC News Indonesia dan ABC Australia menyebutkan bahwa video tersebut diduga berisi rekaman kekerasan seksual terhadap anak-anak di wilayah Kupang. Dari hasil pemeriksaan, teridentifikasi tiga korban anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual oleh terdakwa.


Tuntutan Jaksa dan Proses Persidangan

Selama persidangan di PN Kupang, jaksa penuntut umum menghadirkan sejumlah bukti dan saksi, termasuk hasil visum dan alat bukti digital yang dikirim melalui kerja sama dengan otoritas Australia.

Jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp5 miliar, atau subsider satu tahun kurungan, karena terbukti melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016 serta Pasal 82 ayat (2) dan (4) KUHP yang mengatur pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.

Dalam pembelaannya, terdakwa sempat membantah sebagian dakwaan. Ia mengaku ditekan oleh pimpinan saat proses pemeriksaan di Mabes Polri, dan menyangkal melakukan tindakan kekerasan terhadap korban berusia enam tahun. Namun majelis hakim menilai bantahan tersebut tidak didukung bukti yang kuat.


Putusan Hakim dan Amar Vonis

Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kekerasan seksual terhadap tiga anak di bawah umur dan mendistribusikan konten tersebut secara daring.

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 19 tahun dan denda sebesar Rp5 miliar, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama satu tahun,”

ujar Hakim Ketua A.A. Gede Agung Parnata dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Selain hukuman kurungan dan denda, majelis hakim juga mewajibkan terdakwa membayar restitusi kepada korban senilai Rp359 juta untuk biaya pemulihan psikologis dan sosial.


Reaksi Publik dan Lembaga Perlindungan Anak

Kasus ini menuai perhatian besar dari masyarakat, aktivis, hingga lembaga perlindungan anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak agar vonis terhadap mantan Kapolres itu menjadi pelajaran serius bagi aparat penegak hukum agar tidak menyalahgunakan kekuasaan.

“Ketika seorang anggota kepolisian, apalagi berpangkat tinggi, terlibat dalam kejahatan seksual terhadap anak, maka hukuman berat adalah keharusan moral dan hukum,”

ujar Ketua KPAI Ai Maryati Solihah, dikutip dari CNN Indonesia.

Sementara itu, Komnas HAM menyoroti aspek “relasi kuasa” dalam kasus ini. Menurut Komnas HAM, terdakwa menggunakan jabatan dan wibawanya untuk memanipulasi serta menekan korban agar tidak melapor. Hal ini disebut sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap hak anak dan etika profesi kepolisian.


Jejak Digital dan Bukti Teknologi

Penelusuran digital forensik yang dilakukan oleh Direktorat Siber Polri bersama AFP Australia menemukan file video dengan metadata yang cocok dengan lokasi Kupang dan waktu kejadian antara 2023–2024.

File tersebut kemudian ditelusuri berasal dari perangkat milik terdakwa. Beberapa video sempat beredar di situs luar negeri yang diakses secara terbatas melalui jaringan dark web.

Dalam laporan ABC Australia, disebutkan bahwa koordinasi lintas negara antara kepolisian Australia dan Indonesia dilakukan karena sebagian konten ditemukan di server Australia yang menjadi pusat investigasi internasional.

Kolaborasi ini membuktikan pentingnya kerja sama antarnegara dalam memberantas eksploitasi seksual anak secara online (Online Child Sexual Exploitation – OCSE).


Tanggapan Polda NTT dan Mabes Polri

Kepolisian Daerah NTT memastikan bahwa proses hukum terhadap AKBP Fajar Widyadharma dilakukan secara transparan tanpa intervensi.

“Kami menghormati keputusan pengadilan. Proses etik dan pidana sudah berjalan. Ini menjadi pelajaran berharga agar seluruh anggota Polri menjaga kehormatan institusi,”

ujar Kabid Humas Polda NTT Kombes Ariasandy dalam konferensi pers, Rabu (22/10).

Sementara Divisi Propam Mabes Polri menyebutkan bahwa terdakwa sudah diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) sejak awal proses hukum bergulir pada pertengahan 2024.


Reaksi Masyarakat dan Lembaga Gereja

Kasus ini menjadi sorotan tajam di Nusa Tenggara Timur, daerah yang dikenal religius dan menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Tokoh masyarakat dan pemuka agama menyatakan keprihatinan mendalam, seraya meminta negara menjamin pemulihan trauma bagi para korban.

Sejumlah lembaga sosial di Kupang membuka ruang konseling bagi anak-anak korban kekerasan seksual, termasuk korban kasus ini, untuk mendampingi mereka melalui trauma healing dan rehabilitasi psikologis.


Pesan dan Harapan: Keadilan untuk Korban Anak

Kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat sistem perlindungan anak di Indonesia. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku, terutama dari kalangan aparat, akan menjadi sinyal bahwa hukum tidak pandang bulu.

“Tidak ada alasan pembenaran, apapun jabatannya, pelaku kekerasan seksual terhadap anak harus dihukum maksimal,”
tegas aktivis perempuan Nursyahbani Katjasungkana dalam wawancara dengan Tempo.

 Fakta Hukum Singkat

  • Nama: AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja
  • Jabatan: Mantan Kapolres Ngada, NTT
  • Korban: 3 anak perempuan
  • Pasal: UU Perlindungan Anak & KUHP
  • Vonis: 19 tahun penjara
  • Denda: Rp5 miliar (subsider 1 tahun)
  • Restitusi: Rp359 juta
  • Tanggal vonis: 21 Oktober 2025
  • Tempat: Pengadilan Negeri Kupang


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Inosentius Samsul: 35 Tahun di DPR Hingga Jadi Hakim Mahkamah Konstitusi

PPPK Paruh Waktu Diangkat Menjadi Penuh Waktu: Desakan DPR dan DPD RI ke Pemerintah untuk Segera Bertindak

Permata Tersembunyi di Manggarai Barat: Menjelajahi Air Terjun Cunca Polo

Cara Cek PKH dan PIP 2025 Lewat HP: Panduan Lengkap, Mudah, dan Resmi

Tenaga Kerja Asal Bajawa Diduga Disiksa di Sebuah Yayasan di Bogor, Dibebaskan NTT Bogor Raya