SEKOLAH DAN MASYARAKAT: GAGASAN JOHN DEWEY YANG KEMBALI MENGGUNCANG DUNIA PENDIDIKAN MODERN
Di tengah dunia pendidikan yang semakin terjebak dalam rutinitas, standar nilai, ranking, dan perlombaan tanpa akhir, nama John Dewey kembali mencuat sebagai salah satu pemikir paling relevan untuk zaman ini. Buku klasiknya, “Sekolah dan Masyarakat”, kembali diterbitkan tahun 2025 oleh IRCISoD, tepat pada saat masyarakat global mulai mempertanyakan ulang peran sekolah. Apakah sekolah hari ini benar-benar membantu anak tumbuh menjadi manusia yang merdeka, atau justru ikut menumpuk masalah sosial yang diwarisi dari masa lalu?
Lewat tulisan-tulisannya, Dewey tidak hanya menawarkan kritik, tetapi juga jalan keluar. Ia menyajikan visi yang kuat: sekolah sebagai miniatur masyarakat demokratis. Sekolah bukan ruang tertutup yang memisahkan anak dari realitas hidup, melainkan sebuah laboratorium sosial tempat mereka belajar bekerja sama, berdiskusi, mencipta, dan berpartisipasi dalam kehidupan nyata.
Artikel panjang ini mengupas secara mendalam gagasan John Dewey dari berbagai sisi: sejarah, konteks sosial, kritik terhadap sistem pendidikan tradisional, eksperimen sekolah Chicago yang ia bangun, konsep sekolah demokratis, dan relevansinya dengan dunia pendidikan Indonesia hari ini. Dengan gaya penulisan jurnalistik profesional, analitis, dan mudah dicerna, artikel ini disusun sebagai bahan bacaan komprehensif bagi pendidik, peneliti, jurnalis pendidikan, orang tua, maupun pembuat kebijakan.
Pendidikan di Tengah Krisis: Mengapa John Dewey Kembali Relevan
Ketika revolusi industri mengubah wajah masyarakat Eropa dan Amerika pada awal abad ke-20, sekolah menghadapi tantangan besar. Perubahan teknologi berjalan cepat, namun metode pendidikan tetap terjebak dalam pola lama: hafalan, disiplin ketat, dan orientasi pada ujian. Anak-anak dilatih bukan untuk menghadapi masa depan, tetapi untuk mengulang masa lalu.
Dewey melihat kegagapan ini sebagai akar masalah utama pendidikan modern. Sekolah, menurutnya, gagal terhubung dengan realitas masyarakat. Ketika dunia berubah dinamis, sekolah tetap statis. Ketika masyarakat menuntut kreativitas, sekolah memaksa keseragaman. Ketika demokrasi menuntut warga yang kritis, sekolah justru mengajarkan pasif dan taat aturan.
Kini, setelah lebih dari seratus tahun, kondisi tersebut masih tampak jelas di banyak tempat. Digitalisasi, kecerdasan buatan, perubahan ekonomi, hingga krisis iklim menuntut kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, dan adaptasi. Namun sebagian besar sekolah tetap berjalan seperti mesin birokrasi lama, bergerak lambat, mengabaikan bakat, dan seringkali tidak memberi ruang pada kreativitas.
Tidak heran pemikiran Dewey kembali dianggap relevan, bahkan mendesak.
Baca juga:
Internet Rakyat (IRA): Analisis Lengkap Layanan 5G FWA Rp100 Ribu Tanpa Kabel yang Sedang Menarik Perhatian PublikKritik Dewey terhadap Sekolah Tradisional: Sistem yang Mematikan Rasa Ingin Tahu
Dewey mengibaratkan sekolah tradisional sebagai “pabrik” yang beroperasi berdasarkan serangkaian prosedur. Di dalamnya, murid duduk berbaris, mendengarkan guru sebagai otoritas mutlak, kemudian diuji melalui standar yang sama tanpa memperhatikan keberagaman minat atau latar belakang sosial.
Menurut Dewey, ada tiga kelemahan utama sistem ini:
1. Anak dipaksa mempelajari materi yang tidak mereka pahami relevansinya.
Hafalan fakta—sejarah, rumus, definisi—tidak disertai pengalaman nyata yang melekat. Setelah ujian selesai, semuanya hilang.
2. Proses belajar bersifat pasif dan mekanis.
Guru berperan sebagai pusat pengetahuan, murid hanyalah wadah kosong yang harus diisi. Tidak ada ruang bertanya, berdialog, atau bereksperimen.
3. Sekolah mengabaikan perkembangan sosial dan emosional anak.
Anak dianggap seragam, padahal setiap individu membawa pengalaman, budaya, dan minat yang berbeda.
Sekolah yang terlalu kaku akhirnya meniru struktur masyarakat otoriter: patuh, hierarkis, dan tidak mempersilakan kesalahan. Bagi Dewey, kesalahan justru bagian penting dari proses berpikir.
Gagasan Baru: Sekolah sebagai Miniatur Masyarakat
Dewey menawarkan konsep radikal untuk zamannya: sekolah harus mencerminkan nilai-nilai masyarakat demokratis. Bukan hanya mengajarkan demokrasi melalui teori, tetapi mempraktikkannya dalam keseharian siswa.
Ia menekankan lima prinsip utama:
1. Belajar aktif melalui pengalaman nyata.
Anak belajar bukan dari hafalan, tetapi dari keterlibatan langsung—memasak, membuat alat, meneliti, berdiskusi, dan bekerja sama.
2. Sekolah sebagai komunitas kolaboratif.
Kelas bukan ruang senyap, tetapi ruang dialog, diskusi, dan kerja tim.
3. Kebebasan berbicara dan berpikir.
Murid harus diberi ruang untuk mempertanyakan, memberi pendapat, dan menguji ide.
4. Belajar lintas disiplin.
Masalah di dunia nyata tidak terbagi dalam mata pelajaran, sehingga pendidikan harus interdisipliner.
5. Sekolah sebagai pusat inovasi sosial.
Sekolah harus membantu masyarakat menyelesaikan masalah, bukan menjadi institusi yang terpisah dan tak terjangkau.
Menurut Dewey, pendidikan bukan sekadar persiapan hidup. Pendidikan adalah hidup itu sendiri.
Sekolah Eksperimen Chicago: Bukti Nyata Gagasan Dewey
Untuk membuktikan teorinya, Dewey mendirikan Laboratory School di Chicago pada tahun 1896. Sekolah ini menjadi contoh bagaimana pendidikan dapat diubah secara total.
Beberapa inovasi yang ia lakukan:
a. Belajar Melalui Kegiatan Praktis
Anak belajar matematika lewat mengukur bahan masakan, belajar fisika melalui percobaan sederhana, belajar sejarah melalui proyek budaya, dan belajar bahasa melalui kegiatan jurnalistik.
Tidak ada barisan meja kaku. Ruangan bisa berubah menjadi dapur, bengkel kecil, ruang drama, atau studio seni.
c. Guru sebagai Fasilitator, Bukan Penguasa
Guru berperan membimbing, bukan mengontrol. Mereka mengarahkan anak untuk menemukan solusi, bukan memberi jawaban jadi.
d. Evaluasi yang Bersifat Progresif
Tidak ada ranking, tidak ada perbandingan antar siswa. Yang diukur adalah perkembangan kemampuan, bukan angka.
Hasilnya mencengangkan: murid tumbuh lebih kritis, percaya diri, bekerja sama dengan baik, dan memiliki rasa kepedulian sosial yang tinggi. Mereka tidak sekadar tahu, tetapi mampu memahami dan mengaplikasikan pengetahuan.
Pendidikan sebagai Proses Sosial: Anak Belajar dalam Interaksi
Dewey menegaskan bahwa pendidikan adalah proses sosial. Anak tumbuh bukan hanya dari apa yang mereka baca, tetapi dari apa yang mereka lakukan bersama orang lain. Sekolah yang mematikan interaksi, memisahkan anak dari lingkungan, atau menetapkan struktur yang terlalu ketat, pada akhirnya akan gagal membangun manusia utuh.
Menurutnya, sekolah harus menjadi ruang aman tempat anak:
- berani bertanya,
- berani mencoba,
- berani salah,
- berani memperbaiki,
- dan berani mengambil peran dalam komunitasnya.
Tanpa nilai-nilai itu, demokrasi akan lumpuh.
Relevansi untuk Indonesia: Pendidikan yang Terbebani Administrasi
Kondisi pendidikan Indonesia saat ini menunjukkan ironi yang ditegaskan Dewey lebih dari satu abad lalu. Sistem masih terlalu menekankan:
- ujian nasional dan ujian sekolah,
- ranking dan kompetisi,
- kurikulum yang sangat teoretis,
- jam belajar panjang yang minim ruang eksplorasi,
- dan budaya sekolah yang berfokus pada kepatuhan.
Dalam konteks ini, gagasan Dewey menjadi semakin relevan. Pendidikan Indonesia membutuhkan perubahan dari basis: bagaimana sekolah menempatkan anak bukan sebagai objek, tetapi subjek aktif.
Mengapa “Sekolah dan Masyarakat” Wajib Dibaca Hari Ini
Buku John Dewey bukan hanya kritik, tetapi peta jalan untuk masa depan pendidikan. Di era yang penuh ketidakpastian, sekolah harus menjadi tempat di mana anak belajar:
- berpikir kritis,
- memahami diri dan masyarakat,
- berkolaborasi lintas budaya,
- menggunakan pengetahuan untuk menyelesaikan masalah,
- serta berperan sebagai warga demokratis yang bertanggung jawab.
Dengan jumlah halaman 114, buku ini ringkas tetapi padat makna. Dewey menyajikan gagasan filosofis dengan contoh konkret, menjadikannya bacaan yang mudah dipahami tetapi kaya wawasan.
Membangun Sekolah yang Membebaskan
John Dewey mengingatkan kita bahwa masa depan masyarakat bergantung pada cara kita mendidik anak hari ini. Jika sekolah tetap menjadi mesin hafalan, masyarakat akan dipenuhi warga yang pasif, mudah diarahkan, dan tidak siap menghadapi perubahan. Namun jika sekolah diubah menjadi masyarakat mini yang demokratis, kita akan memiliki generasi yang kreatif, kritis, dan peduli pada kebaikan bersama.
Pendidikan bukan soal mencetak juara kelas. Pendidikan adalah proses membangun manusia yang mampu bertanya, memahami, dan memperbaiki dunia.
Dewey tidak menawarkan formula instan. Ia menawarkan paradigma baru. Paradigma yang hingga kini tetap menjadi batu pijakan utama reformasi pendidikan global.
Bagi pendidik, orang tua, dan siapa pun yang peduli masa depan bangsa, membaca gagasan Dewey adalah langkah penting untuk membayangkan kembali sekolah yang membebaskan: sekolah yang membuat anak tidak hanya pintar, tetapi juga mampu menjadi manusia yang berarti bagi masyarakat.

Komentar
Posting Komentar