Sopi: Antara Tradisi, Ekonomi, dan Legalitas — Belajar dari Bali dalam Mengatur Minuman Tradisional


Mengatur Minuman Tradisional

Sopi, minuman hasil fermentasi pohon lontar, bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur bukan sekadar cairan yang memabukkan. Ia adalah bagian dari denyut kehidupan sosial, budaya, bahkan ekonomi. Sopi hadir di pesta pernikahan, upacara adat, hingga ritual penyambutan tamu. Di balik aroma khasnya, terkandung nilai yang lebih dalam dari sekadar “minuman keras”.

Namun di sisi lain, nama sopi kerap diidentikkan dengan pelanggaran hukum, pemusnahan, dan bahaya sosial. Aparat menertibkan, sementara masyarakat bertahan. Antara pelarangan dan pelestarian, sopi berdiri di wilayah abu-abu belum benar-benar dianggap warisan budaya, tapi juga belum sepenuhnya dihapus.


Sopi dan Akar Budaya Masyarakat NTT

Dalam konteks sosial NTT, sopi memegang peranan yang unik. Ia bukan minuman sembarangan, melainkan medium penghormatan. Dalam setiap pesta adat Manggarai, misalnya, sopi menjadi bagian dari simbol persaudaraan. Satu botol sopi bisa mengikat pertemanan, melancarkan negosiasi, bahkan menenangkan konflik kecil di kampung.

Sopi juga digunakan dalam acara penti, upacara syukuran panen di Manggarai, serta dalam wa’i hemba di Sumba, di mana sopi disajikan sebagai simbol kehangatan. Sopi mengalir dari tangan ke tangan, melambangkan kepercayaan dan keterbukaan antarwarga.

Budayawan asal NTT, Stefanus Mese, pernah mengatakan dalam wawancaranya dengan Kompas (2023),

“Sopi bukanlah masalah, yang menjadi masalah adalah bagaimana kita memperlakukan sopi. Jika dibuat dan dikonsumsi dengan bijak, sopi justru menjadi pengikat budaya.”


Potensi Ekonomi yang Besar

Selain nilai budaya, sopi memiliki potensi ekonomi yang tidak bisa diabaikan. Di berbagai desa penghasil sopi seperti di Kabupaten Flores Timur, Sikka, dan Manggarai, ribuan warga menggantungkan hidup dari penyadapan nira lontar. Hasilnya dijual ke pasar atau ke pembeli tetap dari kota. Harga satu jerigen 5 liter bisa mencapai Rp70.000–Rp100.000.

Jika dikelola dan dilegalkan seperti arak Bali, nilai ekonomi sopi bisa melonjak tajam. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik NTT (2024), potensi produksi nira di wilayah timur Indonesia mencapai lebih dari 80 juta liter per tahun. Jika 10% saja diolah menjadi sopi dengan izin produksi UMKM, nilai perputaran uang bisa mencapai ratusan miliar rupiah per tahun.

Sayangnya, alih-alih dijadikan komoditas ekonomi, banyak warga justru dihantui razia. Sopi disita, alat distilasi dimusnahkan, bahkan beberapa penjual dijerat hukum dengan pasal produksi miras ilegal.

Baca Juga  :

Moke NTT: Tradisi, Kesehatan, dan Peluang Ekonomi Masa Depan Indonesia Timur



Antara Larangan dan Ketidakhadiran Regulasi

Hingga kini, belum ada Peraturan Daerah (Perda) di NTT yang secara eksplisit mengatur legalitas produksi dan distribusi sopi. Peraturan Gubernur NTT Nomor 44 Tahun 2019 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol, misalnya, hanya menegaskan pembatasan peredaran miras tanpa membedakan antara produk tradisional dan industri.

Padahal, menurut Pasal 18B UUD 1945, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Artinya, selama sopi dibuat dan digunakan dalam konteks adat dan budaya, pemerintah seharusnya memberi ruang perlindungan, bukan sekadar penindakan.

Ketiadaan regulasi inilah yang membuat sopi berada dalam posisi “tak bernegara”. Ia diakui secara sosial, tapi ditolak secara hukum. Pemerintah kabupaten seringkali memusnahkan hasil sitaan ribuan liter sopi, sementara di sisi lain masyarakat menjadikannya sumber nafkah.


Belajar dari Bali: Arak Jadi Produk Legal

Pulau Bali menghadapi dilema serupa beberapa tahun lalu. Arak Bali, yang dulu juga dianggap miras ilegal, akhirnya dilegalkan. Gubernur Bali Wayan Koster menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.

Aturan itu menjadi tonggak sejarah: arak Bali kini sah dijual, diproduksi, dan diekspor sebagai produk lokal. Dalam Pergub itu disebutkan bahwa arak tradisional merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan, dengan catatan memenuhi standar higienitas dan mendapat izin dari dinas terkait.

Kini, arak Bali sudah digunakan oleh hotel-hotel berbintang, festival kuliner, dan bahkan masuk daftar ekspor ke luar negeri. Pemerintah Provinsi Bali menggandeng koperasi lokal dan UMKM untuk produksi, dengan pengawasan Dinas Perindustrian dan Perdagangan.

Kebijakan ini tidak hanya menekan penjualan miras ilegal, tapi juga meningkatkan pendapatan masyarakat desa pengrajin arak. Tahun 2024, nilai ekspor arak Bali tercatat mencapai Rp12 miliar, menurut data Disperindag Provinsi Bali.


Mengapa NTT Tidak Bisa Meniru Bali?

Pertanyaan ini sering muncul di berbagai forum publik. Secara kultur, sopi memiliki posisi serupa dengan arak Bali. Sama-sama minuman hasil fermentasi alami, sama-sama berbasis masyarakat adat, dan sama-sama memiliki nilai ekonomi besar.

Namun perbedaan utamanya terletak pada politik pengakuan. Bali memiliki dorongan kuat dari pemerintah daerah yang memahami pentingnya melindungi kearifan lokal. NTT, sebaliknya, masih memandang sopi dari kacamata hukum nasional tanpa pendekatan budaya.

Selain itu, proses legalisasi arak Bali juga melibatkan riset akademik dari Universitas Udayana dan lembaga sertifikasi pangan untuk memastikan keamanan produk. Sementara di NTT, belum ada kajian sistematis tentang standar mutu sopi.

Padahal jika pemerintah provinsi dan universitas lokal bekerja sama, bukan tidak mungkin sopi bisa menjadi produk unggulan ekspor seperti halnya arak Bali.


Kritik dan Saran: Dari Pelarangan ke Pengelolaan

Kritik utama terhadap kebijakan pemusnahan sopi adalah bahwa pendekatan ini tidak menyentuh akar masalah. Pemusnahan tidak membuat sopi hilang  justru membuat produksinya semakin tersembunyi dan tidak terpantau. Hasilnya, pemerintah kehilangan potensi pajak dan masyarakat kehilangan peluang ekonomi.

Kebijakan represif juga menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak menghargai budaya sendiri. Di satu sisi pemerintah mempromosikan pariwisata berbasis budaya, namun di sisi lain menolak simbol budaya seperti sopi.

Saran kebijakan yang realistis meliputi:

  1. Penyusunan Perda Sopi, meniru Pergub Bali Nomor 1 Tahun 2020, untuk mengatur izin produksi dan distribusi sopi lokal.
  2. Sertifikasi mutu dan higienitas, bekerja sama dengan universitas atau balai laboratorium daerah agar sopi memenuhi standar keamanan pangan.
  3. Pemberdayaan ekonomi desa, dengan membentuk koperasi sopi yang berfungsi sebagai penyalur resmi.
  4. Pengawasan konsumsi, bukan produksi. Fokus pemerintah seharusnya pada edukasi bahaya konsumsi berlebihan, bukan pemusnahan bahan baku.
  5. Promosi budaya dan wisata sopi, seperti “Festival Sopi” di Larantuka atau Kupang, yang bisa menjadi daya tarik wisata budaya seperti Arak Festival di Bali.

Dengan langkah ini, sopi bisa menjadi simbol kebanggaan daerah, bukan sekadar masalah sosial.


Membuka Ruang Dialog: Sopi Sebagai Identitas

Mungkin sudah saatnya masyarakat NTT dan pemerintah duduk bersama. Sopi tak perlu disembunyikan, melainkan diatur dengan bijak. Di tangan yang salah, sopi memang berbahaya. Tapi di tangan yang benar, ia bisa menjadi simbol harmoni antara manusia dan alam — sebagaimana pohon lontar yang tidak pernah menolak siapa pun.

Bila Bali berhasil menjadikan arak sebagai produk unggulan, mengapa NTT tidak bisa menjadikan sopi sebagai kebanggaan daerah?
Legalitas sopi bukan berarti membiarkan masyarakat mabuk, melainkan mengatur agar tradisi ini tidak hilang sekaligus memberi nilai tambah ekonomi.


Penutup

Sopi telah hidup bersama masyarakat NTT selama ratusan tahun. Ia bukan sekadar minuman  ia adalah cerita tentang kerja keras, tentang identitas, dan tentang kebersamaan.
Mungkin kini saatnya kita berhenti memusnahkan sopi, dan mulai memahaminya.
Sebab di setiap tetesnya, tersimpan kisah tentang tanah, pohon, dan manusia NTT.

























Sumber Data dan Referensi:

  • Kompas.com (2023) – “Sopi dan Dilema Budaya di NTT”
  • Antara NTT (2024) – “Pemprov NTT Musnahkan 2.000 Liter Sopi”
  • BPS NTT (2024) – Statistik Produksi Nira Lontar
  • Pergub Bali No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Arak Bali
  • Disperindag Bali (2024) – Laporan Ekspor Arak Bali
  • UUD 1945 Pasal 18B – Pengakuan Hak Masyarakat Adat


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Inosentius Samsul: 35 Tahun di DPR Hingga Jadi Hakim Mahkamah Konstitusi

PPPK Paruh Waktu Diangkat Menjadi Penuh Waktu: Desakan DPR dan DPD RI ke Pemerintah untuk Segera Bertindak

Cara Cek PKH dan PIP 2025 Lewat HP: Panduan Lengkap, Mudah, dan Resmi

Permata Tersembunyi di Manggarai Barat: Menjelajahi Air Terjun Cunca Polo

Bangga! Uskup Paskalis Bruno Syukur OFM Terpilih Jadi Anggota Penting Dikasteri Hidup Bakti Hingga 2029