Felix Edon dan AKI 2025: Kesetiaan Berkesenian yang Menghidupkan Budaya Manggarai

Foto : FB Felix Edon 

Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2025 menjadi momentum penting bagi perjalanan seni dan kebudayaan daerah di Indonesia. Tahun ini, penghargaan prestisius dari negara tersebut dianugerahkan kepada Felix Edon, pelaku seni dan budaya asal Manggarai, Nusa Tenggara Timur, dalam kategori Pelestari. Penghargaan ini menegaskan bahwa kesetiaan menjaga tradisi meski kerap dijalani dalam sunyi pada akhirnya menemukan pengakuan yang bermakna.

Menanggapi berbagai ungkapan apresiasi dari masyarakat, Felix Edon menyampaikan rasa haru dan terima kasih yang mendalam. Melalui kolom komentar Galery Manggarai pada unggahan berjudul “Felix Edon Raih Anugerah Kebudayaan Indonesia 2025: Berkesenian sebagai Napas Kehidupan”, ia menyapa dan mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat Manggarai ase kae agu ata ngo long latung, coko kawe woja, mbaet lau tana tadang yang selama puluhan tahun setia mendukung, mendengarkan, dan mencintai musik serta kebudayaan Manggarai.

Baca Juga:




Sebagai salah satu pelaku musik tradisional Manggarai, Felix mengaku bangga melihat perkembangan para musisi Manggarai lintas generasi. Dari para senior hingga adik-adik muda yang mulai bersyair Manggarai melalui berbagai genre musik, semuanya telah memperkaya khazanah budaya daerah. Menurutnya, keberanian generasi muda mengekspresikan identitas lokal melalui bahasa dan irama sendiri adalah tanda bahwa budaya Manggarai tidak berhenti, melainkan terus hidup dan relevan dengan zaman.

Kebanggaan itu juga ia tujukan kepada para penikmat lagu-lagu Manggarai sejak era Amang Makarius Arus, Daniel Anduk, Amang Eddy Ngambut, hingga masa kini. Felix mengenang bagaimana album Nampar Nos dan karya-karya berikutnya mendapat tempat istimewa di hati masyarakat Manggarai, bahkan sejak para pendengarnya masih duduk di bangku sekolah di Ruteng. Bagi Felix, musik Manggarai bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari ingatan kolektif, penanda identitas, dan cermin perjalanan hidup masyarakatnya.

Perjalanan panjang berkarya Felix Edon sejak 1987 terekam dalam berbagai dokumentasi yang kini tersaji di platform digital seperti YouTube, Facebook, Instagram, dan TikTok. Dokumentasi inilah yang turut memperkuat penilaian dewan juri AKI 2025, selain arsip foto, video, serta rekam jejak karya yang konsisten dari waktu ke waktu. Felix pun menyampaikan terima kasih kepada para pengelola dan pegiat media sosial yang dengan setia mengabadikan dan merawat jejak perjalanan berkesenian tersebut.

Anugerah Kebudayaan Indonesia 2025 sendiri terdiri dari tujuh kategori, yakni Maestro, Pelestari, Anak, Media, Sastra, Masyarakat Adat, serta Pelopor dan/atau Pembaru, dengan kriteria yang ketat dan berlapis. Felix menegaskan bahwa peluang untuk meraih penghargaan kebudayaan terbuka luas bagi siapa saja yang konsisten dalam keseharian berkarya, memiliki dokumentasi yang tersimpan rapi, aktif memanfaatkan media sosial, serta menunjukkan capaian yang berkelanjutan seiring usia berkarya.

Salah satu kontribusi penting Felix Edon dalam dunia kebudayaan adalah pelestarian Cakatinding, alat musik bambu khas Manggarai yang dahulu dimainkan para petani di kebun. Melalui sentuhan kreativitas yang tetap menjaga identitas dasarnya, Cakatinding berkembang tanpa kehilangan akar tradisinya, hingga akhirnya mendapat pengakuan negara sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Pengakuan ini menjadi penegasan bahwa kebudayaan lokal memiliki nilai tinggi dan layak dijaga bersama.

Komitmen Felix Edon dalam pendidikan budaya diwujudkan melalui Sanggar Budaya Wela Rana, ruang belajar seni bagi anak-anak dan generasi muda. Di sanggar ini, musik dan tradisi tidak hanya diajarkan sebagai keterampilan teknis, tetapi juga sebagai sarana pembentukan karakter, etika, dan kesadaran identitas budaya. Sanggar Wela Rana menjadi bukti bahwa tradisi dapat tumbuh, hidup, dan berdialog dengan perkembangan zaman.

Dalam refleksinya, Felix Edon menegaskan bahwa tetap berkesenian merupakan bagian dari upaya merawat dan melestarikan kebudayaan daerah, yang secara konstitusional dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Ia meyakini bahwa apa yang dikerjakan dengan kesetiaan tidak pernah sia-sia. “Saya tidak pernah menyangka bahwa Tuhan mencatat apa yang kita buat, dan negara mengapresiasi apa yang kita lakukan,” ungkapnya.

Felix juga mengingatkan bahwa di kampung-kampung dan komunitas lokal, terdapat banyak penjaga budaya yang bekerja dalam diam, jauh dari sorotan media. Mereka adalah pelestari sejati yang setia menjaga warisan leluhur dengan caranya masing-masing. Menurut Felix, Anugerah Kebudayaan Indonesia 2025 bukanlah puncak pencapaian, melainkan beban dan tanggung jawab bersama untuk terus merawat, menjaga, dan mewariskan budaya kepada generasi berikutnya.

Rentang waktu berkarya sejak 1987 hingga kini menjadi ukuran kesetiaan dan kecintaan Felix Edon terhadap seni budaya tradisional Manggarai. Penghargaan ini ia persembahkan bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk seluruh masyarakat Manggarai Raya dari pegunungan hingga pesisir Selat Sape yang telah menjadi bagian dari perjalanan kebudayaan tersebut.

Di tengah derasnya arus modernisasi, kisah Felix Edon menunjukkan bahwa kemajuan tidak harus meninggalkan tradisi. Justru, kebudayaan yang dirawat dengan kesadaran dan cinta akan menjadi fondasi kuat bagi identitas dan kehidupan bangsa.

Cinta budaya adalah cinta kehidupan.
Tabe momang daku untuk kita semua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Inosentius Samsul: 35 Tahun di DPR Hingga Jadi Hakim Mahkamah Konstitusi

PPPK Paruh Waktu Diangkat Menjadi Penuh Waktu: Desakan DPR dan DPD RI ke Pemerintah untuk Segera Bertindak

Cara Cek PKH dan PIP 2025 Lewat HP: Panduan Lengkap, Mudah, dan Resmi

Permata Tersembunyi di Manggarai Barat: Menjelajahi Air Terjun Cunca Polo

Bangga! Uskup Paskalis Bruno Syukur OFM Terpilih Jadi Anggota Penting Dikasteri Hidup Bakti Hingga 2029