Bagaimana Aturan Sertifikasi Halal Berlaku untuk Produk Non-Muslim di Indonesia


Aturan Sertifikasi Halal: Mengenali Kewajiban Produsen Non-Muslim

Dalam beberapa tahun terakhir, regulasi tentang sertifikasi halal di Indonesia menjadi sorotan publik dan kalangan bisnis. Terutama ketika pemerintah memperkenalkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 (PP 42/2024) yang memperbaharui ketentuan sebelumnya tentang jaminan produk halal. Tapi satu pertanyaan kerap muncul: Bagaimana jika usaha atau produk dijalankan oleh pemilik non-Muslim? Apakah tetap wajib halal?

Berikut uraian profesional dan ringkas berdasarkan regulasi terkini serta informasi dari lembaga resmi.


Latar Belakang: PP 42/2024 dan Kedudukannya

PP 42/2024 merupakan regulasi baru yang menggantikan PP 39/2021 dan mengatur penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia.

Salah satu poin utama dalam PP 42/2024 adalah:

“Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.”

Namun, peraturan ini juga mencantumkan klausul bahwa produk yang berasal dari bahan yang diharamkan dibebaskan dari kewajiban tersebut, tetapi wajib diberi keterangan “tidak halal.”

Dengan demikian, aspek “halal atau tidak” produk tidak terkait dengan identitas agama pemilik usaha, melainkan dengan sifat bahan dan regulasi peredaran produk.


Baca Juga :


Penahapan Kewajiban Sertifikasi (Pasal 160 PP 42/2024)

PP 42/2024 menetapkan secara bertahap kewajiban sertifikasi halal untuk produk tertentu melalui Pasal 160.

Berikut beberapa ayat penting:

  • Pasal 160 ayat (1): Bagi pelaku usaha menengah dan besar, kewajiban sertifikasi halal untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan mulai berlaku dari 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2024.

  • Pasal 160 ayat (2): Untuk usaha mikro dan kecil (UMK), jadwalnya diperpanjang—penahapan berlaku sampai 17 Oktober 2026.

  • Pasal 160 ayat (3): Untuk produk impor (makanan, minuman, hasil sembelihan) kewajiban sertifikasi halal paling lambat ditetapkan oleh Menteri Agama sebelum 17 Oktober 2026, dengan mempertimbangkan kerja sama pengakuan bersertifikat antarnegara.

Secara praktis, sejak 18 Oktober 2024, produk makanan, minuman, dan bahan terkait dari usaha menengah dan besar wajib sudah mempunyai sertifikat halal atau siap menghadapi sanksi administratif seperti penarikan produk atau peringatan tertulis.


Produk Non-Halal & Usaha Non-Muslim: Apa yang Berlaku?

Berikut poin utama yang perlu dipahami:

  1. Usaha atau pemilik non-Muslim tidak dibebaskan dari regulasi.

    Regulasi menyasar produk yang beredar dan dijual, bukan siapa yang memproduksinya. Jadi, meskipun usaha dijalankan oleh non-Muslim, jika produk dikategorikan “halal-wajib”, maka sertifikasi halal tetap berlaku.

  2. Produk yang memang tidak halal (mengandung unsur haram seperti alkohol, babi, darah) tidak bisa bersertifikat halal.

    Namun UU dan PP mewajibkan agar produk demikian diberi label “tidak halal” agar konsumen jelas mengetahui sifatnya.

  3. Perlakuan untuk UMK lebih longgar

    Untuk usaha mikro dan kecil yang menghasilkan makanan, minuman, dan jasa penyembelihan, limit waktu sertifikasi diperpanjang hingga 17 Oktober 2026. Jika masih belum sertifikasi sampai saat itu, produk dapat dikenai sanksi administratif sesuai regulasi.

  4. Mulai Oktober 2026, barang gunaan (mis. pakaian, kerajinan, produk kulit) juga wajib sertifikat halal.

Jadi, yang menentukan status kewajiban halal bukan agama pelaku usaha, melainkan:

  • Apakah jenis produk termasuk kategori wajib halal,
  • Apakah bahan mengandung unsur haram, dan
  • Apakah produk diedarkan di Indonesia.

Tantangan & Isu Terkini

Dalam pelaksanaannya, sejumlah isu dan tantangan muncul:

  • Beberapa pihak menyebut bahwa produk tanpa sertifikat halal akan dikategorikan sebagai barang ilegal mulai 2026. Pernyataan ini sering muncul di media massa.

  • Namun legalitas “langsung ilegal” belum secara eksplisit disebut di dalam PP 42/2024 sebagai konsekuensi otomatis; sanksi administratif seperti peringatan atau penarikan produk lebih realistis.

  • Penundaan kewajiban sertifikasi halal khusus untuk UMK dan produk impor (hingga 2026) dianggap bentuk “kemunduran” oleh sebagian kalangan, agar ada waktu adaptasi.

  • Produk impor dengan bahan baku luar negeri menjadi tantangan tersendiri agar rantai pasok dapat memenuhi standar halal sebelum batas akhir.

Kesimpulan & Saran bagi Produsen Non-Muslim

  • Intinya, usaha non-Muslim tetap tunduk pada regulasi sertifikasi halal apabila memproduksi atau memperdagangkan produk yang dikategorikan wajib halal di Indonesia.

  • Jika produk memang non-halal, wajib mencantumkan label “tidak halal” secara jelas.

  • Untuk pelaku UMK, ada ruang waktu lebih panjang sampai 17 Oktober 2026 untuk menyesuaikan regulasi.
  • Untuk produk barangan (non-makanan/kosmetik), kewajiban sertifikasi halal baru mulai diberlakukan Oktober 2026.
  • Pelaku usaha non-Muslim sebaiknya memahami regulasi ini, bekerjasama dengan lembaga sertifikasi halal, agar produk mereka tetap kompetitif dan mematuhi hukum.

Semoga postingan ini bisa menjadi panduan bagi kamu maupun pembaca usaha yang ingin memahami regulasi halal secara profesional dan komprehensif.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Inosentius Samsul: 35 Tahun di DPR Hingga Jadi Hakim Mahkamah Konstitusi

PPPK Paruh Waktu Diangkat Menjadi Penuh Waktu: Desakan DPR dan DPD RI ke Pemerintah untuk Segera Bertindak

Permata Tersembunyi di Manggarai Barat: Menjelajahi Air Terjun Cunca Polo

Cara Cek PKH dan PIP 2025 Lewat HP: Panduan Lengkap, Mudah, dan Resmi

Pink Beach NTT Dinobatkan Sebagai Pantai Terindah di Dunia 2025