Ironi Kesejahteraan Guru di Hari Guru Nasional 2025: Tuntutan Tinggi, Nasib Belum Terpenuhi
Setiap tanggal 25 November, Indonesia memperingati Hari Guru Nasional, sebuah momentum penghormatan bagi mereka yang menjadi fondasi pembangunan bangsa. Namun di tengah apresiasi, muncul ironi yang tak kunjung reda: kesejahteraan guru masih jauh dari harapan, terutama bagi guru honorer dan sukarelawan yang bertahun-tahun berdiri di depan kelas dengan kondisi serba terbatas.
Kesejahteraan yang Masih Tertinggal
Berbagai riset menunjukkan bahwa persoalan kesejahteraan guru belum terselesaikan. Survei IDEAS mencatat sekitar 74% guru honorer memperoleh gaji di bawah Rp2 juta per bulan, sementara 20% di antaranya hanya menerima kurang dari Rp500 ribu. Di banyak daerah, tidak sedikit guru sukarelawan yang bahkan digaji Rp300 ribu per bulan dan dibayar tidak rutin.
Di sisi lain, tuntutan terhadap profesi guru semakin tinggi: penggunaan teknologi pembelajaran, kompetensi digital, administrasi sekolah yang kompleks, hingga penyesuaian kurikulum yang terus berubah.
Ketimpangan Status Kepegawaian
Masalah terbesar berada pada disparitas status kepegawaian. Guru PNS dan PPPK telah mendapatkan tunjangan dan kepastian karier, sementara guru honorer masih bergantung pada kebijakan daerah dan sekolah. Hal ini menciptakan jurang ketidakadilan yang semakin lebar dalam dunia pendidikan.
Tantangan lain adalah distribusi guru yang belum merata. Di wilayah terpencil, guru sering bekerja dengan fasilitas minim, akses transportasi sulit, dan beban kerja lebih tinggi tanpa diimbangi kompensasi layak.
Baca Juga:
Kemendikdasmen Siapkan Beasiswa Rp 3 Juta/Semester untuk 150.000 Guru pada 2026
Harapan Baru dan Tantangan Implementasi
Pemerintah telah menyampaikan komitmen untuk meningkatkan gaji dan tunjangan guru pada tahun-tahun mendatang, termasuk memperluas rekrutmen PPPK. Meski demikian, implementasi menjadi persoalan utama. Kenaikan gaji kerap tidak merata, sementara guru honorer masih menunggu kepastian status yang jelas.
Usulan mengenai Upah Minimum Guru (UMG) mulai menguat. Kebijakan ini dinilai dapat menjadi terobosan untuk memastikan semua guru, apa pun statusnya, mendapatkan penghasilan minimum yang manusiawi.
Dampak Kesejahteraan terhadap Mutu Pendidikan
Guru yang tidak sejahtera berpotensi kehilangan fokus dan motivasi. Banyak guru honorer terpaksa mencari pekerjaan tambahan, mulai dari berdagang hingga bekerja serabutan. Kondisi ini berdampak pada:
- Terbatasnya persiapan mengajar
- Minimnya inovasi pembelajaran
- Kesulitan mengikuti pelatihan dan pengembangan kompetensi
- Tidak optimalnya pendampingan belajar siswa
Kualitas pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kualitas hidup para guru. Keduanya berjalan seiring dan saling memengaruhi.
Agar Hari Guru Tidak Sekadar Seremoni
Untuk memperbaiki kondisi guru secara nyata, beberapa langkah berikut perlu diutamakan:
1. Standarisasi Upah Minimum Guru (UMG) untuk seluruh wilayah.
2. Percepatan pengangkatan guru honorer menjadi PPPK dengan sistem transparan dan terukur.
3. Pengalokasian anggaran yang efektif dan tepat sasaran, terutama untuk kesejahteraan guru daerah terpencil.
4. Pengurangan beban administrasi agar guru dapat fokus mengajar.
5. Pemberian insentif non-materi seperti beasiswa studi, pelatihan rutin, dan asuransi kesehatan.
Hari Guru Nasional seharusnya bukan hanya perayaan simbolis. Tanpa guru yang sejahtera, mimpi pendidikan berkualitas hanya menjadi wacana. Tahun 2025 menjadi momentum penting bagi negara untuk memastikan bahwa penghargaan terhadap guru tidak berhenti sebagai slogan, tetapi diwujudkan melalui kebijakan yang konkret dan merata.

Komentar
Posting Komentar